DIAMOND masih menggunakan sistem point of view yang berganti-ganti di setiap babnya, ya. Jadi, perhatikan setiap nama di judul sub bab. Terima kasih <3
Matahari di ufuk timur terbit terlalu cepat saat aku membuka mata. Menendang selimut yang membungkus raga, lalu gaduh memasuki kamar mandi, dan membersihkan badanku secepat kilat. Setelahnya, aku memasukkan buku pelajaran tergesa-gesa, menutup pintu kamar dengan jeblakan keras, kemudian setengah berlari menuruni tangga dengan tangan sibuk mengikat dasi di ujung kerah.
Kulihat mama sudah berkacak pinggang kala langkahku sampai di ruang makan. Matanya menatapku tajam, mirip elang yang siap melahap mangsanya. Aku hanya bisa meringis karena keterlambatanku ini juga disebabkan insomnia, bukan kemauanku juga untuk bangun tidak tepat waktu atau bahkan tidak tidur sepanjang malam. Aku tidak terlambat bangun dengan sengaja, tetapi otakku yang terus bekerja dari dulu hingga sekarang membuat kepalaku dipenuhi beban, banyak masalah-masalah yang sampai sekarang tidak kutemui titik terangnya.
Tanpa banyak bicara, aku mengambil sepotong roti dengan selai nanas di dalamnya. Aku menikmati sarapanku dengan hati yang gusar. Mataku tak henti-hentinya melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.
"Ini akibatnya kalau kamu tidak pernah mendengar omongan mama, Rio. Begadang itu bisa menurunkan kesehatan kamu." Mama menghela napas, berjalan mendekatiku, lalu membenahi rambutku yang pastinya tidak tertata rapi. "Belajar itu bagus, tapi jangan terlalu memaksakan diri. Sekali-kali kamu juga perlu berbaur, mama capek lihat Cakka terus yang main ke sini."
Aku memutar mata malas. Santapan pagiku selain roti adalah petuah mama yang pastinya kudapatkan secara rutin. Terlebih ini bukan kali pertama aku bangun kesiangan. Parahnya, sekarang adalah hari Senin, upacara bendera membuat sekolahku memajukan jam masuk menjadi lebih awal. Itu juga yang kini menjadi kekhawatiranku sebab terbayang seorang Guru Kesiswaan yang kusebut Pak Cepol—bapak itu suka memakai wig yang sering lepas ketika ia bersin—dengan pulpen dan kertas di tangan, siap mencatat siapa saja yang terlambat dan dengan senang hati memberikan hukuman. Predikatku sebagai anak yang tidak pernah rapi menggunakan atribut sekolah membuatku mendapatkan pengawasan paling utama darinya. Untuk mengantisipasi hukuman yang lebih berat—karena sudah pasti aku terlambat—aku terpaksa memasang dasiku dengan sedikit lebih rapi, tali sepatu terikat, dan ujung baju seragam tidak ada yang keluar.
"Iya, Ma. Kapan-kapan aku berbaur."
Mama mendengkus kesal. "Kamu anak cowok, tapi susah banget buat disuruh berbaur. Mama hanya ingin kamu membangun relasi dari sekarang, Rio, itu baik untuk masa depan kamu."
Masa depanku?
Aku tertawa kecil, menyembunyikan fakta bahwa masa depan terdengar seperti hal muluk karena begitu kabur dalam bayanganku. Lagipula, aku tidak akan bisa berlama-lama tinggal. Aku tahu jelas tujuan dari eksistensiku berada di bumi.
"Rio berangkat, ya."
Mama mengangguk dan membiarkanku pergi. Motor merah di pekarang rumah telah menunggu untuk ditunggangi.
***
Peluh membanjiri wajahku, terik matahari yang hampir berada di atas kepala andil dalam rasa panas yang kurasakan sekujur tubuh. Seperti dugaanku, Pak Cepol menghukum semua murid yang terlambat. Tidak tanggung-tanggung meminta kami berlari mengitari lapangan sekolah yang luasnya tidak main-main, mungkin hampir menyamai setengah dari luas gelora, dan disambung dengan pemungutan sampah dari gerbang sekolah sampai kantin yang berada di belakang sekolah. Bisa dibayangkan letihnya seperti apa?
KAMU SEDANG MEMBACA
DIAMOND [sedang revisi]
FantasyAku harus mencari permata biru itu dan melindunginya dari Zevana. Demi permata itu juga, aku harus turun ke Bumi. Siapa yang tahu, kalau pada akhirnya aku terjebak dalam sebuah permainan? Membawaku melepas apa yang seharusnya aku lindungi dan melind...