AGNI? | IFY

1.7K 121 16
                                    



Aku asyik menonton adik-adik kelas baru yang sedang melaksanakan ritual tahunan setiap sekolahan. Masa Orientasi Siswa atau MOS, begitulah orang-orang menyebutnya. Aku duduk di sebuah pendopo dengan laptop yang menyala di pangkuanku. Teriknya matahari membuatku merasa iba dengan anak-anak baru itu, pasti mereka kehausan, belum lagi menahan rasa kesal dan takut karena selalu dibentak oleh kakak-kakak pengurus MOS. Kegiatan seperti itu bisa disamakan dengan olah raga mental dan jantung. Katanya demi kebaikan dan ketika resmi menjadi siswa SMA, tidak menjadi biang onar atau bertingkah seenaknya. Mungkin ada beberapa yang murni berpikiran seperti itu, namun seringnya MOS digunakan sebagai ajang balas dendam. Miris sekali.

Aku pernah merasakan MOS, tentu saja, tetapi tidak separah ini. Lihat dandanan mereka, dikuncir empat dengan pita berbeda-beda, kaos kaki panjang sebelah, tali sepatu menggunakan rafia, topi mereka beragam bentuknya, dan tak lupa menggunakan kalung terong dan cabai-cabaian. Dulu, rambutku hanya perlu dijalin dua dengan rapi, berpakaian lengkap anak SMA yang terlihat kebesaran, lalu mendengarkan ceramah di aula. Simple.

Ah, tunggu dulu. Apakah kita sudah berkenalan?

Panggil saja aku Ify. Aku anak baru di SMA Citra Nugraha ini. Aku pindah semester lalu dan sekarang sudah akan menduduki pangkat paling akhir di masa SMA, kelas 12. Kalian mungkin akan menebak-nebak alasan aku pindah ke SMA ini. Tapi aku yakin, dari semua tebakan kalian tidak ada yang benar karena kepindahanku bukan dikarenakan rasa tidak nyaman di sekolahku yang dulu atau mengikuti pekerjaan orang tua yang harus berpindah-pindah kota.

Yang perlu kalian tahu adalah aku besar di panti asuhan. Jelas sudah, aku tidak tahu orang tuaku siapa dan di mana. Kata ibu panti, ibu kandungku meninggal saat melahirkanku, ayahku yang membawaku ke panti, lalu meninggalkanku begitu saja. Aku tahu bagaimana rupa ayah dan ibuku karena aku memiliki fotonya, dan faktanya aku tidak benar-benar berharap bahwa foto itu adalah benar orang tuaku. Wajah kami berbeda. Tidak sama dengan ibu, juga ayahku. Kulit mereka sama-sama putih, tidak kuning langsat. Mata mereka berwarna cokelat gelap, sedangkan aku? Ah, berkali-kali aku menghindari topik ini. Aku tidak suka membahas mataku, jadi abaikan saja, aku tidak mau kalian beranggapan aku ini makhluk aneh. Intinya, tidak ada mirip-miripnya. Entah aku ini anak siapa.

Bagaimana aku pindah? Jadi, dulu saat di panti asuhan, tentunya aku sekolah dengan dibiayai pihak panti. Aku adalah satu-satunya anak yang bersekolah dari sekian banyaknya anak. Waktu kecil, aku suka merengek ingin bersekolah di salah satu taman kanak-kanak. Aku menangis setiap malam, sehingga ibu panti yang sangat menyayangiku—dan sudah kuanggap sebagai ibuku sendiri—menyanggupinya.

Aku mulai belajar membaca dan menulis. Anak-anak lain yang ada di panti asuhan pun tertarik ingin belajar juga dan mereka memintaku untuk mengajari tanpa ada niatan untuk ikut bersekolah. Kata mereka dulu, sekolah itu menyusahkan. Harus bangun pagi, mengerjakan PR—pekerjaan rumah—setiap hari, padahal itu tidak bisa mereka gunakan sebagai alasan untuk tidak menimba ilmu juga. PR ada agar anak-anaknya tidak hanya belajar di sekolah, tetapi juga di rumah. Walaupun begitu, aku tetap membagi ilmuku pada mereka.

Ibu panti sangat senang karena seluruh anak asuhnya sudah bisa membaca dan menulis meski masih tersendat-sendat. Hingga suatu hari, aku mendengar keluhan ibu panti tentang ekonominya. Menjual sayur tiap pagi di pasar pun tidak cukup untuk menghidupinya dan kami, sepuluh anak asuh yang masih setia tinggal di pantinya. Belum lagi, harus membiayai sekolahku. Mulai saat itulah, aku mulai mencari pekerjaan untuk membantu ibu panti. Mulai dari yang kecil-kecil saja, misalnya mencuci piring di sebuah warung makan dan menjadi pramusaji separuh waktu karena aku harus sekolah. Perlu waktu panjang untuk mengumpulkan uang karena hanya dua pekerjaan itu yang bisa aku lakukan. Hasilnya juga tidak seberapa. Hingga aku ditawari oleh seorang temanku untuk menjadi guru tari balet di sebuah sanggar milik ibunya, tanpa pikir panjang aku menerimanya karena aku juga hobi menari.

DIAMOND [sedang revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang