SUKA? | IFY

1.5K 94 7
                                    



Tadi malam menjadi malam yang mengerikan. Aku mendapati kaleng-kaleng itu lagi, tanpa pengirim, dan pesan yang sarat akan ancaman. Kalau begini, bukankah si pengirim serius dengan kata-kata yang ia tulis di dalam surat? Bukankah itu berarti nyawaku benar-benar sedang dalam bahaya? Aku panik dengan pemikiranku sendiri, tetapi Rio yang entah bagaimana ada di kosku di waktu yang sama dapat memberikanku ketenangan.

Aku cukup terkejut sewaktu mendapati Nini dan seorang pemuda yang agak familier berada di sisi Rio. Mereka ternyata adalah saudara sepupu. Ini adalah fakta baru yang aku ketahui malam itu. Fakta kedua yang baru aku sadari adalah perihal... jantungku yang sepertinya kehilangan tempo detaknya; kacau. Degupnya terlalu keras, tidak beraturan, seperti genderang yang menghentak-hentak kala musik rock mengalun mengisi ruangan. Sialnya, kenapa kecepatannya bertambah seiring kalimat Rio yang terus menjalin kata penenang untukku?! Tangannya tidak berhenti mengusak puncak kepalaku, pelukannya terasa hangat, dan begitu mampu menenangkan kekalutan yang aku rasakan. Ayolah, Ify... berpikir logis. Tidak ada alasan selain aku baru mendapati ancaman baru, itulah satu-satunya sebab jantungku berdebar. Benar, kan?

"Tidak apa-apa, percaya padaku, Fy. Kamu menyimpan nomorku, kan? Kalau takut, kamu bisa telepon aku kapan saja."

Ini aneh dan terasa salah. Otakku seperti tersapu bersih dari ketakutan hanya karena kata-kata yang Rio lontarkan. Jemarinya begitu lembut mengusap bekas air mataku yang terjatuh sebab kepanikan beberapa saat yang lalu. Kenapa kini ada sepercik perasaan asing menyeruak di balik dadaku? Aku merasa... bahagia? Namun, perasaan bahagia benar-benar tidak pantas untuk aku rasakan di situasi runyam seperti ini, kan? Sialnya, berapa kali pun aku mengelak, rasa terlindungi dan nyaman itu terus membanjiriku selama Rio berada di sisiku.

"Tanganmu dingin."

Ucapan Rio hanya kutimpali dengan gumaman. Netraku tertuju pada tangan besarnya yang melingkupi tanganku. Baru kali ini Rio memberikan perhatian yang... entahlah, aku merasa Rio yang saat ini ada di sampingku jauh lebih peduli daripada Rio yang aku kenal pertama kali, dan aku... menyukai sikapnya yang ini.

"Aku pulang, ya, Fy. Jangan ragu buat telepon aku kalau terjadi sesuatu lagi," katanya sembari mengacak rambutku. Aku hanya mengangguk kaku dan tersenyum tipis, lalu mengucap terima kasih atas kepeduliannya malam ini.

Rio, Cakka, dan Nini sudah kembali ke rumahnya, tetapi aku masih bersandar di balik pintu dan bertingkah seperti orang gila. Rasa takut yang sempat mendera dan debar jantung yang menggila masih aku rasakan. Aku memukul dadaku pelan karena merasa terlalu sesak dengan buncahan perasaan yang asing dan tidak dapat aku definisi. Apa yang telah terjadi padaku?

***

"Pagi, Fy!"

Aku sedikit terlonjak saat Rio datang sambil menggebrak meja. Senyumannya terpatri begitu lebar, memperlihatkan gingsulnya di kedua barisan gigi atasnya. Uh? Sebentar. Rio tumben sekali datang sepagi ini?

"Pagi, Yo. Kenapa sudah datang?"

Rio tertawa menanggapi ucapanku. "Pertanyaanmu lucu, Fy. Heran, ya, kenapa aku bisa rajin hari ini?"

Aku mengangguk cepat sambil memperhatikannya yang sedang membuka tas abu-abunya. Daguku tertopang di atas tangan, netraku masih memandangnya yang kini juga menatapku tetap dengan bibirnya yang tertarik ke dua sudut. "Heran banget, Yo. Kamu sakit, ya? Atau sudah tobat? Biasanya kamu masuk kelas sehabis ngejalanin hukuman. Ini tumben sekali masuk kelas dengan aman dan tentram."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 28, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DIAMOND [sedang revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang