Hari pertama menjadi ketua kelas. Ternyata tidak terlalu buruk. Guru-guru hanya mengingatkanku agar aku mengingatkan teman-teman kelasku untuk mengumpulkan biodata pribadi esok hari. Semua teman-temanku mengangguk mantap, seolah tugas itu adalah tugas sepele. Katanya, dibuat hari ini pun jadi. Tetapi, karena harus melampirkan foto, semuanya jadi mendengkus malas.
"Wajahku tembem, ah, jelek kalau difoto. Tidak perlu pakai foto ya, Fy?" kata Bian, salah satu teman kelasku.
"Mau jelek, mau cantik, mau ganteng, seburuk rupa atau sebagus rupa wajahmu juga harus dan wajib ngelampirin foto. Mau kena omelan wali kita?"
Bian cemberut dan melengos pergi dari hadapanku. Aku menggelengkan kepala heran. Apa susahnya melampirkan foto di biodata? Lagipula yang lihat juga para guru. Tidak mungkin sampai dipajang di mading sekolah!
"Ketua kelas, mau ke kantin?" kata Rio masih sibuk membereskan barang-barangnya.
Pas sekali perutku berdemo ingin diisi, maka ada baiknya aku menerima tawaran Rio. "Ayo. Aku lapar."
Kami berjalan beriringan menuju kantin yang sudah disesaki murid-murid. Kalau begini, aku jadi malas membeli makan, antreannya pasti lama, dan jam istirahat akan habis sebelum aku bisa mengisi lambungku.
"Fy, cari tempat duduk sana, aku yang pesanin. Mau makan apa?" kata Rio menawarkan.
"Jus jeruk saja," kataku. Sudahlah, tidak usah makan. Sehabis istirahat ini aku ada ulangan kimia dan aku harus mempersiapkannya.
"Tadi katanya lapar? Kenapa beli jus jeruk saja?"
"Tidak jadi. Nanti ulangan kimia Yo, aku belum siap" kataku mengingatkan.
Rio mengangguk dan mulai memesan. Aku melihat meja-meja yang sudah penuh, mencari meja kosong yang setidaknya cukup untuk dua orang.
"Kak Ify!"
Aku menatap seorang gadis sedang melambaikan tangannya di meja pojok kantin. Aku tersenyum senang, mendapati Nini yang memanggil namaku. Aku menghampirinya dan duduk di sebelahnya.
"Sendirian saj—"
"Hai, Kak Fy!"
"Astaga!" kataku kaget.
Aku membalikkan badan. Jantungku nyaris saja copot melihat Vana berdiri tepat di depanku. Senyumnya yang aneh itu mengembang. Sampai sekarang, perasaanku masih saja tidak enak setiap melihat Vana tanpa ada alasan yang jelas.
"Kaget ya, kak? Maaf." Vana terkekeh sembari duduk di samping Nini. Vana mulai menyantap mie gorengnya yang dibawanya. "Mau, Kak?" tawarnya.
Aku menggelengkan kepala, menolak tawarannya halus. Kulihat Rio menghampiriku dengan dua jus jeruk di tangannya. Untung saja kursi di sampingku ini kosong.
"Tidak masalah 'kan temanku ikut gabung di sini?" tanyaku.
Nini masih fokus dengan ponselnya. "Tidak kok. Gabung saja."
Tanpa aku sadari, Rio sudah berada di depanku. Tangan kanannya menyodorkan jus jeruk lalu menempelkannya di pipiku. Aku mengernyit. "Kenapa tidak dingin?"
"Es batunya habis."
Aku melengos pelan. Apa rasanya jus jeruk tapi tidak dingin? Ya, sudahlah. Yang penting, jus ini bisa melegakan kerongkonganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIAMOND [sedang revisi]
FantasyAku harus mencari permata biru itu dan melindunginya dari Zevana. Demi permata itu juga, aku harus turun ke Bumi. Siapa yang tahu, kalau pada akhirnya aku terjebak dalam sebuah permainan? Membawaku melepas apa yang seharusnya aku lindungi dan melind...