Sembilan

55K 1.6K 14
                                        

"Ada apa, Al?" tanyaku saat Aldo pulang dengan wajah uring-uringan.

Aldo langsung menghempaskan tubuhnya di tempat tidur.

"Capek, Rin! Tugas kuliahku banyak yang keliru. Proposal tugas akhir pun terbengkalai begitu saja. Aku pusing harus bekerja dan kuliah dalam waktu yang bersamaan. Otakku rasanya nggak kuat." Gerutu Aldo.

Aku duduk di sisi Aldo, mencoba memijit keningnya.

"Kalau bukan karena kamu hamil, rasanya aku ingin menyerah saja." Katanya sambil mengelus perutku yang semakin membuncit.

"...kalau saja aku bisa mengulang waktu, malam itu aku nggak akan bertindak bodoh menahanmu keluar dari kamarku."

Aku menarik tanganku. "Kamu menyesal?" tanyaku tak senang.

"Bukan, Rin. Setidaknya kamu nggak akan hamil dan kita bisa tetap fokus kuliah sampai selesai."

"Itu sama saja kamu menyesali kehadiran darah dagingmu sendiri!" seruku.

"Kenapa kamu jadi marah sih?"

"Semuanya udah terlanjur, Al... kita harus hadapi konsekuensinya."

"Bicara memang gampang. Tapi aku belum siap, Rin! Secara materi, secara mental, aku belum siap untuk menikah dan punya anak di usia semuda ini!"

"Kamu egois!" balasku sambil menahan air mata yang hampir tumpah.

"Terserah katamu! Aku capek, mau tidur!" Aldo segera berbaring membelakangiku.

Kenapa jadi seperti ini? Keadaan kami bukan bertambah baik. Ini bukan untuk pertama kalinya kami berdebat tentang hal yang sama. Aku pikir semuanya takkan sesulit ini, aku pikir aku dan Aldo sama-sama siap menghadapi kehadiran seorang anak. Namun ternyata aku salah. Pernikahan yang terlalu dini. Kehamilan yang terlalu dini. Benar kata Papa Hendri yang sejak awal telah menekankan pada kami untuk menunda memiliki anak hingga kami selesai kuliah. Rupanya inilah yang dikhawatirkan Papa Hendri. Kami belum siap. Kami masih harus belajar berumah tangga berdua, menghadapi setiap masalah bersama. Bukan seperti sekarang, walaupun kami telah saling mencintai, namun rupanya kami belum siap mental menghadapi permasalahan dalam rumah tangga.

Aku menoleh pada Aldo. Entah dia sudah tidur atau belum, aku tak berani mengusiknya. Aku hanya berharap esok hari amarahnya telah reda.
+++

"Al, please... pulang dulu.. Perutku sakit banget, Al. Aku takut... Papa kan belum pulang dari luar kota.. Tadi Bibik bilang mungkin aku akan melahirkan..." kataku panik saat menelepon Aldo.

"Mana mungkin? Perkiraan dokter kan masih dua sampai tiga minggu lagi." Sahut Aldo.

"Nggak tau, Al.. sakit banget rasanya, ini bukan kayak kontraksi biasanya... Aldo, please...kamu pulang sekarang ya..." aku terus memohon.

"Udah, nggak usah panik. Kamu sama bibik dulu deh. Aku terlanjur ada janji konsultasi sama dosen nih."

Nyeri di perutku semakin menjadi. Aku tak tahan lagi.

"Aaahhh...."

"Karin??! Karin... Karin..." terdengar suara di seberang.

"Mas Aldo... mbak Karin pingsan..." aku samar-samar masih bisa mendengar suara bibik. Setelah itu semuanya gelap.

Aku terkejut saat mendapati diriku terbaring di ruangan serba putih. Rumah sakit. Aldo telah ada di sisiku. Wajahnya terlihat begitu khawatir. Perutku masih begitu nyeri walau tak sehebat tadi.

"Kamu rileks dulu ya... kata dokter memang waktunya jadi maju..."

"Aku mau melahirkan?" tanyaku.

Aldo mengangguk. "Mungkin harus cesar, karena kondisimu kurang fit."

"Maafin aku, Al."

"Hei, kenapa minta maaf. Kamu udah jagain anak kita dengan baik. Kuat ya? Aku selalu nemenin kamu kok. Papa juga sedang perjalanan kemari."

Aldo mencium keningku sebelum aku dibawa ke ruang operasi. Ya Tuhan, kuatkan aku.
+++

AKIBAT PERNIKAHAN DINITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang