Tiga

65.3K 2K 8
                                    

Aku memasuki kamarku yang wangi berhiaskan bunga melati. Hari ini begitu melelahkan batin. Ya! Hari pernikahanku dengan Aldo, lelaki yang sangat tidak kusukai. Kenapa aku harus menikah dengannya?

Aku melemparkan bantal ke arah pintu untuk melampiaskan kekesalanku, tepat saat itu Aldo masuk dan terkena lemparanku.

"Kamu ini kenapa sih? Bukan cuma kamu yang kesal! Aku juga!" teriaknya.

"Mau apa ke sini? Keluar dari kamarku!"

"Siapa juga yang mau tidur di sini? Tuh, dipanggil Papa!" katanya lalu bergegas keluar.

Tak lama aku menyusulnya. Papa Hendri telah duduk di ruang tengah bersama Aldo.

"Sini, Karin..." Papa menyuruhku duduk di sebelahnya.

"Kalian berdua telah menikah. Walaupun masih muda, biasakanlah bersikap selayaknya suami istri. Jangan bertengkar saja! Buang ego kalian jauh-jauh! Sering-seringlah kalian ngobrol atau pergi berdua. Tapi satu hal yang perlu Papa tekankan, sebaiknya selama kalian masih kuliah, jangan buru-buru punya anak dulu."

Mukaku memerah. Aldo tampak terbelalak.

"Pa, aku nggak akan menyentuh dia! Tenang saja! Aku tetap akan tidur di kamarku sendiri." Sergah Aldo.

"Bukan itu maksud Papa. Kalian sudah menikah, tak ada yang melarang untuk tinggal satu kamar."

"Karin juga nggak mau, Pa." kataku.

"Apa?" Papa Hendri geleng-geleng kepala. "Kalian belum mau akur juga?"

Aku diam. Aldo membuang muka.

"Oya, Aldo. Karin akan kuliah di kampus kamu. Baik-baik jagain dia."

"Apa???" Aldo kaget.

"Aku kuliah, Pa?" tanyaku seakan tak percaya.

Papa Hendri mengangguk. "Iya, sayang. Di kedokteran gigi seperti cita-citamu."

Aku benar-benar kaget. Serta merta kupeluk Papa Hendri.

"Buat apa sih kuliah segala? Dia kan sudah menikah. Harusnya di rumah, mengurus rumah tangga dengan baik." Protes Aldo.

Aku geram. Aldo benar-benar menghalangi cita-citaku!

"Kenapa sih sewot melulu? Aku kan mau kuliah juga!" balasku.

Aldo melotot ke arahku. Tiba-tiba dia tersenyum sinis.

"Aku kan suamimu, jadi aku berhak memutuskan. Aku melarang kamu kuliah! Aku mau istriku di rumah aja!"

"Aldo...!" teriakku kesal.

Seenaknya saja dia! Memanfaatkan status pernikahan untuk menekanku. Aku menatap ke arah Papa Hendri.

"Biarkan saja Aldo. Kamu tetap akan kuliah, Karin. Kan Papa yang membiayai, bukan suamimu itu."

Aku tersenyum mendengarnya. Rasakan kau, Aldo! Papa Hendri benar-benar papa idaman. Baik dan pengertian. Sungguh berbeda dengan anaknya yang super menyebalkan itu. Lihat saja mukanya tambah geram memandangku yang begitu disayangi Papanya.

Dan akhirnya aku pun mulai kuliah. Aku berangkat dan pulang bersama Aldo. Namun tak jarang pula dia meninggalkanku di kampus dan membiarkanku pulang sendiri. Bahkan yang membuatku sangat kesal adalah dia menyuruh teman-temannya mengerjaiku habis-habisan saat ospek. Meski tak seorangpun tahu hubungan kami. Aldo mengancamku untuk tak cerita apapun pada siapapun. Aku juga tak sudi mengatakannya. Karena itu sering kami harus curi-curi kesempatan agar tak seorangpun memperhatikan kami saat berangkat atau pulang bersama. Tak jarang pula aku dan Aldo bertengkar di depan Papa Hendri. Dan saat papa tak ada, kami lebih parah lagi.

"Makanan apaan sih? Dasar nggak becus masak!" teriaknya melempar masakanku ke meja makan. Aku kesal sekali dengan tingkahnya.

"Kalau nggak mau ya nggak usah makan! Aku juga nggak sudi masakin kamu!"

Malam itupun Aldo tak makan sehingga Papa menanyakan.

"Dari tadi siang di kamar terus, Pa."

"Panggil dong, Karin. Dia kan suamimu."

Kata-kata Papa membuatku tak berkutik. Dengan langkah gontai aku menuju kamar Aldo. Kuketuk berkali-kali tak ada jawaban. Akhirnya kuberanikan diri masuk. Aldo meringkuk di tempat tidur dengan selimut di seluruh tubuhnya. Dia tak menghiraukanku.

"Kamu kenapa?" tanyaku.

"Gara-gara masakanmu, badanku jadi nggak enak!"

"Ah nggak mungkin! Papa makan juga tapi baik-baik aja kok. Kamu beneran sakit ya?" tanyaku memegang dahinya. Panas.

"Al, kamu demam."

"Sudah keluar sana!"

Aku memang keluar dari kamarnya, tapi kemudian balik lagi membawa obat penurun demam dan kompres air hangat. Papa menyusulku ke kamar Aldo.

"Aldo demam, Pa. Nggak apa-apa kok, ini Karin bawain obat. Besok pagi juga baikan." Kataku sambil memberikan obat pada Aldo. Semula dia menolak, tapi kupaksa juga menelannya.

"Kamu itu, Al... punya istri baik begitu kok diajak bertengkar terus tiap hari." Goda Papa Hendri saat aku mengompres kening Aldo.

Aldo yang malas menjawabnya hanya membuang muka.

Sebenarnya aku juga agak malas merawatnya, tapi mau gimana lagi? Aku nggak enak kalau Papa hendri menegurku. Lagian tak ada salahnya, toh Aldo juga sering menungguku pulang saat di kampus. Balas budi dikitlah.
+++

AKIBAT PERNIKAHAN DINITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang