Desember 2006.
Klara berjalan menghampiriku. Kenapa nih anak? Pakai senyum-senyum segala lagi. Dasar aneh! Pasti ada apa-apanya. Klara duduk di sampingku. Aku pura-pura cuek sambil meneruskan bacaanku.
"An,aku butuh bantuan nih." katanya membuka percakapan.
Benar kan? Sudah kuduga nih anak pasti ada maunya.
Aku masih pura-pura cuek.
"An,kamu dengerin aku kan? Aku butuh bantuan kamu." Klara merebut buku yang sedang kubaca.
"Apa?" tanyaku pendek.
Mudah-mudahan dia minta tolong yang wajar-wajar aja. Klara jahilnya bukan main. Capek deh kalau mesti bantuin dia buat ngerjain Gina nona angkuh di sekolah, atau Bobby si playboy sok tajir.
"Nggak kok. Bukan soal ngerjain Gina atau Bobby." katanya seakan tau isi kepalaku. "Ini soal aku, An."
"Emang kamu kenapa?" tanyaku sedikit heran. Setauku Klara paling santai menghadapi setiap masalah. Seserius apa sih sampai dia bingung begini?
"Reza ngajak ketemuan."
"Reza siapa?"
"Aduh, Anya...telmi banget sih! Reza temenku chatting."
"Oh, yang kuliah di Amrik itu?"
"Hm! Kemarin dia bilang mau balik ke sini dan ngajakin aku ketemuan." Klara kelihatan gelisah.
"Lho bukannya bagus ya? Kan kamu bilang dia anaknya asyik. Seru kan kalau kalian ketemuan?"
"Justru itu, An. Aku bingung. Baiknya aku ketemu dia nggak ya?"
Aku jadi semakin heran melihat tingkah Klara.
"Reza sih asyik. Cuma aku merasa lebih nyaman aja komunikasi sama dia di dunia maya. Aku takut Reza nggak seperti yang aku bayangin selama ini, An. Aku takut hubungan kami yang udah asyik ini berubah setelah kami ketemu nantinya."
"Terus kamu maunya gimana? Ya tolak ajalah kalau emang kamu nggak mau ketemu." kataku santai.
"Aku nggak enak nolaknya, An!" seru Klara.
"Terus gimana? Kamu curhat ke aku ini sebenarnya mau ngapain sih?"
"Aku perlu bantuan kamu."
"Bantuan apa?"
"Aku mau kamu jadi aku, An."
Aku terkejut.
"Apa?? Maksudnya... aku nyamar jadi kamu terus ketemuan sama Reza gitu..?"
Klara mengangguk.
Permintaan yang berat, Kla. Mana mungkin aku bisa jadi kamu? Gaya kita aja udah beda begini. Apalagi ketemu orang yang sama sekali nggak kukenal sekalipun itu di dunia maya.
"Nggak ah, Kla!"
"Please Anya, tolongin aku! Aku cuma mau pastiin apa dia beneran Reza yang aku kenal."
"Dengan aku sebagai umpan? Nggak mau ah! Emangnya nggak ketauan apa? Muka kita kan beda banget." aku tetap menolak.
"Reza belum pernah tau mukaku kayak apa. Kita belum pernah saling lihat wajah masing-masing sekalipun fotonya doang. Ayolah,An..."
"Terus ntar kalau dia juga sama aja kayak kamu, nyuruh orang lain jadi dia, gimana? Belum lagi kalau ternyata yang aku temui beneran Reza dan penyamaranku ketauan atau tiba-tiba ada yang kenal dan nyapa aku, gimana?"
Aku masih berusaha menolak permintaan aneh Klara. Klara menunduk lesu.
"Masa' kamu nggak mau bantuin aku sih, An? Kita kan sahabatan. Sekali ini... Nanti biar aku yang tanggung resikonya. Apapun asal kamu bantuin aku. Aku nggak mungkin minta tolong sama orang lain, cuma kamu yang aku percaya. Please Anya, bantuin aku ya?"
Klara seperti mengemis memohon bantuanku. Masa' aku tega sih sama dia? Apalagi selama ini Klara selalu baik padaku.
"Emang kapan Reza balik?" tanyaku.
"Sekitar bulan depan."
"Ya udahlah. Aku bantuin. Tapi aku nggak tanggung resikonya kalau nanti semua berantakan. Dan kamu harus janji akan ngaku semuanya sama Reza secepatnya. Buat sekali ini ok deh, aku turuti kemauan kamu."
Wajah Klara langsung cerah.
"Makasih banget, Anya... Kamu emang sahabatku yang paling baik."
++