Januari 2008.
Wajah Klara tak seperti biasanya. Aku mencoba menanyakan hal itu padanya.
"Nggak tau nih, An. Kok lama-lama aku merasa nggak asyik aja jalan sama Reza."
"Kalian udah jadian?"
"Jadian?? Nggaklah."
"Lho bukannya kalian deket? Kamu juga suka dia kan?" tanyaku aneh.
Klara terkekeh.
"Aku emang suka sama Reza. Tapi sebatas temenan dan hang out bareng aja."
"Oooh..."
"Tapi...nggak taulah, An. Dia agak lain akhir-akhir ini. Aku merasa lebih nyaman aja ngobrol sama dia lewat chatting.Reza sih asyik, cuma seperti ada yang ditutup-tutupi darinya. Kayaknya dia lagi mikirin sesuatu."
"Maksudnya?" tanyaku tak mengerti.
Klara menatapku.
"An, selama aku jalan sama Reza... dia suka tanya kabar kamu."
Aku terkejut. Reza masih ingat padaku?
"Reza juga cerita perjanjian kalian. Kenapa sih harus kayak gitu, An? Apa bedanya kamu sama aku? Kenapa Reza bisa temenan sama aku tapi nggak sama kamu?"
"Itu kemauan Reza, Kla. Dia nggak mau kenal aku lagi."
"Kenapa, An?"
Aku menggeleng.
"Aku capek pura-pura nggak tau apa-apa, An! Aku bisa ngerasain kalau Reza kehilangan kamu. Dan kamu juga kan?"
Raut wajahku berubah. Aku tak bisa menyembunyikan kekagetanku.
"Apaan sih..." cuma kata-kata itu yang bisa terlontar dari mulutku.
"Anya, bukan cuma Reza yang sikapnya aneh. Tapi kamu juga. Ngaku deh! Kamu juga kehilangan Reza kan? Kamu suka Reza kan?"
Aku mengelak.
"Udahlah, Kla.. Nggak usah bahas Reza lagi. Aku nggak mau dengar apapun tentang itu. Aku mau fokus belajar buat ujian nasional."
++