April 2007.
Klara masih juga belum mengakui hal itu sama Reza.Makin cari alasan aja deh nih anak! Mungkin aku memang harus lebih keras lagi sama dia.
"Anya!! Bikin minum dua dong!"
Lamunanku buyar mendengar namaku dipanggil. Pasti itu Kak Jodi, kakakku satu-satunya. Paling bawa temennya lagi.
Aku keluar membawa dua gelas orange juice. Begitu sampai di depan Kak Jodi, aku benar-benar speechless. Kaget. Terkejut.Tercengang. Atau apalah. Yang pasti rasanya aku ingin pingsan saja ketika melihat seseorang yang sedang bersama Kak Jodi."Akhirnya datang juga nih minuman. Heh, ngapain bengong adikku sayang? Bawa sini cepetan!" seru Jodi.
"Klara adik lu, Jod?"
"Klara? Heh, nama adik gue tuh Anya. Bukan Klara."
Aku tak bisa menghindar lagi. Udah ketauan! Aku sungguh tak menyangka kalau Reza kenal sama Kak Jodi. Mati deh!
Aku buru-buru meletakkan gelas di meja dan ingin cepat berlalu dari mereka, namun Kak Jodi menahanku.
"An, kenalin nih temen Kakak dari Amrik. Reza ini temen SMA Kakak, sekarang dia mau balik lagi ke sini. Dan semester depan dia mulai kuliah di kampus Kakak."
Aku cuma tersenyum sedikit.
"Za, ini adik gue. Anya. Bukan Klara. Lagian siapa sih Klara?" Kak Jodi yang tak tau apa-apa memperkenalkan kami.
Reza mengulurkan tangan dan aku menjabatnya.Setelah itu aku buru-buru masuk. Tapi sebenarnya aku nguping pembicaraan mereka. Untung Reza nggak ngomong apapun sama Kak Jodi.
Setelah memastikan Reza keluar dari rumahku, aku segera masuk kamar dan bermaksud menghubunginya. Namun ternyata ponselku telah berdering duluan. Kulihat nama di layar. Reza.
"Kita perlu bicara, Klara... maksudku Anya..atau siapalah terserah! Yang jelas kita pelu bicara! Aku tunggu besok jam dua siang di tempat biasa kita ketemu."
Sebelum aku sempat bicara, Reza sudah menutup telepon. Dari nada bicaranya, aku tau dia pasti marah sekali. Apa mungkin dia bisa memaafkanku?
Klara? Aku segera menghubunginya dan menceritakan apa yang baru saja terjadi.
"Jadi Reza udah tau?" tanyanya panik.
"...An,sorry banget.. Semua salahku. Nggak seharusnya aku libatin kamu sejauh ini. Besok biar aku aja yang temui Reza. Aku akan beresin masalah ini sendiri. Aku udah terlalu banyak nyusahin kamu, An."
"Jangan, Kla! Besok biar aku yang bicara Reza. Memang aku yang ingin dia temui. Setelah semua urusanku sama dia selesai, kamu yang harus membereskan masalah ini."
"Makasih ya, An. Maafin aku udah nyusahin kamu."
"Ok." Aku segera memutuskan sambungan.
++
Siang itu seusai sekolah aku langsung menuju tempat janjian dengan Reza, tanpa peduli aku masih mengenakan seragam putih abu-abuku. Aku tak sempat menukar bajuku, aku hanya melapisinya dengan jaket. Rupanya Reza telah menunggu. Aku menguatkan hati untuk menghadapinya. Apapun yang terjadi aku sudah siap.
"Reza..." ucapku perlahan.
Sesaat Reza menatapku.
"Duduk! Kita selesaikan masalah ini sekarang juga." katanya datar.
Aku duduk di hadapannya. Sejenak suasana menjadi bisu sebelum aku membuka kata.
"Aku minta maaf. Seharusnya aku nggak berbuat seperti ini..."
Aku menceritakan semuanya. Tentang Klara yang sebenarnya. Dan rencana Klara memintaku menggantikannya.
"Lalu yang sering aku hubungi itu nomor HP kamu kan? Pantas saja tiap aku telepon, kamu suka gugup dan terkesan menghindariku. Aku nggak habis pikir, bisa-bisanya kamu menyetujui ide konyol Klara dan membohongiku. Aku pikir kamu baik...Anya.."
Aku menunduk merasa bersalah.
"Maaf, Za.. Aku benar-benar merasa bersalah. Aku udah coba jujur jelasin semuanya sama kamu. Dan Klara sendiri juga akan menjelaskan...."
"Klara? Masih ingat dia sama aku? Kalian berdua sama saja! Apa kalian nggak mikir apa akibatnya sebelum melakukan sesuatu? Dan kamu, Anya.. aku sangat kecewa sama kamu!"
Reza berdiri meninggalkanku. Dia benar-benar terlihat sangat marah. Aku mencoba mengejarnya keluar.
"Reza... Tolong dengar dulu! Jangan menghakimiku seperti ini!" aku menarik tangannya. Berdiri di hadapannya. Kutarik napas dalam-dalam.
"...sebelum kamu pergi, tolong maafin aku.. Atau paling nggak, kamu bilang apa yang harus aku lakukan supaya kamu bisa maafin aku. Aku benar-benar merasa bersalah. Aku menyesal." kataku memohon.
"Memangnya dengan aku maafin kamu, semuanya bisa selesai??" tanyanya datar.
Aku menunduk.
"Paling nggak, aku dapat maaf darimu."
"Ok. Kamu aku maafin. Dan anggap semua nggak pernah terjadi. Anggap kita nggak pernah saling ketemu."
Aku mengangguk dengan berat hati.
"Boleh aku minta satu hal lagi?" tanyaku.
Reza menatapku.
"Jangan katakan hal ini sama Kak Jodi. Berjanjilah kamu tetap akan berteman sama Kak Jodi walaupun adiknya pernah jahat padamu.."
Reza mengangguk.
"Jodi adalah sahabatku. Apapun yang pernah terjadi antara kita, itu nggak akan mengubah persahabatanku dengan Jodi. Kamu nggak perlu khawatir tentang itu. Semoga kamu bisa belajar dari semua ini, Anya. Selamat tinggal."
Reza berjalan meninggalkanku. Apa aku bisa menganggap semua ini tak pernah terjadi?
++