1 (Happiness?)

65.5K 2.4K 108
                                    

      Ada apa dengan kupu-kupu?

Mengapa mereka sering dijadikan lambang kebahagiaan saat sayap mereka mengepak diperut?

Memangnya seperti apa rasanya?

Apakah itu akan bertahan lama?

Jika, iya, tolong ajarkan aku bagaimana cara untuk menangkap banyak kupu-kupu.

Akan ku simpan mereka di dalam perut dan syal musim dinginku, agar sayap-sayapnya mampu menggelitikku setiap waktu...

Huh!

Aku merobek kertas kosong terakhir yang tersisa di buku catatanku, tanganku perlahan meremas, membentuk kertas tak berguna itu dan melemparnya ke tempat sampah agar ia bisa berkumpul bersama kertas yang lain.

"Itu keras terakhirmu dan kau belum menyelesaikan satupun bait puisi?" Gwen menggeleng dan mengejek dalam satu waktu. Aku hanya meliriknya dengan malas, lebih tepatnya aku malas karena dia berdadan lebih cantik dariku hari ini.

"Mau kertasku?" Dia menyodorkan buku catatannya padaku.

Aku tersenyum memaksa sambil meletakkan pensil di dagu. "Tidak, Gwen Wagner. Terima kasih," tolakku lembut. Sahabatku yang satu ini memiliki perasaan yang agak sensitif dari kebanyakan gadis remaja lainya, jadi aku harus selalu menjaga perasaannya meskipun kadang dia justru tak bisa menjaga perasaan orang lain.

Gwen sedikit mendesah kecewa, dia lalu membuka bungkus lollipop terakhir yang ia temukan di saku seragamnya. "Tapi, Hope. Kau sudah mengahabiskan lebih dari dua jam di sini, apa kau tidak bosan?" Dia menatapku sambil memasukkan lollipop ke dalam mulutnya. Warna lolipopnya cukup serasi dengan lipstick merah mudahnya.

Aku meletakkan ujung pensilku di bibir dan menatap Gwen begitu berhati-hati. "Jika kau ingin pulang duluan tidak apa-apa," ucapanku seketika membuat bibir tebalnya cemberut.

"Kau mengusirku, Hope-Kim-Franzel?" Dia menekankan suaranya dengan volumeyang sengaja yang dibesarkan. Ku harap tak ada satupun telinga yang mendengarnya.

Aku langsung mengumpat lirih, "fuck you, Wagner!" sambil memberinya tatapan kecewa. Gwen tersenyum puas. Jika saja aku sedang tidak berada di perpustakaan, aku pasti juga akan membalasnya dengan caraku sendiri.

Aku mendesah dan melirik ke kiri dan kanan, masih khawatir jika ada orang yang mendengar saat Gwen menyebutkan nama lengkap sialan itu. Aku masih kesal dan menatap Gwen penuh intimidasi.

"Itu tadi tidak lucu, Gwen!" aku menatapnya tegas, pertanda bahwa aku benar-benar benci saat nama itu ditujukan padaku.

Gwen menunjukku dengan lollipopnya, "kau sungguh aneh. Jika aku jadi kau, aku pasti akan segera berlari ke kantor sekolah dan meminta mereka mengganti nama belakangku, dengan nama Franzel." Gwen mendongakkan kepalanya ke atas, mendesah dramatis seolah dia sedang membayangkan kejadian itu terjadi padanya.

"Lagipula sampai kapan kau mau merahasiakannya? Aku yakin sekolah pasti tidak akan mengeluarkanmu hanya statusmu sekarang. Apalagi Franzel merupakan penyumbang dana terbesar di sini," Gwen menatapku heran.

Aku hampir bosan mendengar pertanyaan itu darinya sejak satu bulan yang lalu. Mataku menatapnya sambil menenggakkan punggungku lalu berdehem samar.

"Aku tak perlu menjawabnya. Yang jelas, jangan pernah mengganti nama belakangku lagi...," tegasku pada Gwen. "...aku tetaplah Hope Kim Davinier, dan aku bangga akan itu." Aku mengulangi kalimat ini pada Gwen untuk yang seratus kalinya.

Another HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang