Setelah semalam, semuanya jadi agak berbeda. Alih-alih ingin menjalin hubungan yang normal aku terkadang masih merasa canggung setiap kali bertemu Franzel. Rasanya makin aneh ketika Franzel mengatakan padaku tadi pagi bahwa mulai minggu ini dia tidak akan terlalu sering ke Dubai. Dia memutuskan untuk mengontrol semuanya dari New York. Itu artinya Franzel akan lebih sering berada di rumah. Intensitas pertemuan kami tentu akan semakin meninggkat. Entahlah, aku hanya belum terbiasa.
Ini adalah Sabtu yang tenang. Aku memang butuh satu atau dua hari lagi sebelum kembali ke sekolah Senin nanti. Meskipun sejujurnya aku benar-benar penasaraan tentang situasi sekolah, namun kupikir mempersiapkan diri jauh lebih baik untuk saat ini. Aku menghabiskan waktu siangku untuk menata ulang barang-barang milikku. Ada beberapa aksesoris yang tergantung di dekat meja, sebagian dari mereka sudah ketinggalan jaman, jadi aku berniat untuk mengungsikannya ke dalam kardus atau tempat lain.
Gagal menemukan kotak kardus, akhirnya mataku tertuju pada sebuah laci yang berada di bawah meja rias. Laci itu jarang kubuka, dan aku bahkan sudah lupa apa isinya. Untuk beberapa detik aku terdiam ketika melihat sebuah kotak bludru merah tua seukuran telapak tangan ada di sana. Mataku menyipit dan spontan tanganku membuka kotak bludru itu.
Oh, astaga!
Satu tanganku bergerak menutup mulut saat kulihat dua benda penting yang cukup untuk membuatku membeku. Sebuah kalung dan sebuah cincin pernikahan. Ini milikku. Kalung ini, kalung pemberian Franzel, kalung yang dulu pernah kuputuskan beberapa jam sebelum pernikahan, aku menariknya dari leherku ketika aku memberontak hendak menolak untuk menikah. Kupikir Kentish sudah menjual kalung ini. Ah, apa mungkin mungkin Mom menyerahkannya pada Franzel setelah kalungnya diperbaiki?
Aku menghembuskan nafas pelan. Tanganku beralih memegang cincin pernikahanku dan merabanya untuk memastikan bahwa itu memang cincin pernikahanku. Bukan apa-apa, hanya saja, rasanya benar-benar sangat janggal mengingat cincin itu sebenarnya sudah kulempar ke danau yang jaraknya sekitar 1 KM dari sini. Aku membuangnya bukan tanpa alasan, aku membuang cincin itu sekitar beberapa hari setelah aku ke tinggal di rumah ini. Hari itu aku benar-benar terluka karena Franzel membentakku hanya karena aku tidak mau menemaninya makan malam. Aku sangat kesal, marah, dan tertekan, sebagai wujud kekesalahanku aku berlari keluar rumah untuk membuang cincin pernikahan itu.
Anehnya, Franzel tak pernah menanyakan tentang dimana cincin itu. Dia memang pernah bertanya mengapa aku tidak memakainya, dan aku menjawab karena aku tak ingin orang berfikir bahwa aku sudah menikah, jadi aku tak memakai cincin itu. Kupikir Franzel tak memiliki masalah dengan itu.
Aku mengamati cincin itu lagi, mengangkatnya sejajar dengan mataku. Aku yakin, ini cincin pernikahanku. Bahkan nama Franzel masih jelas ada di sana. Bagaimana bisa Franzel menyimpan semua benda-benda ini?
"Permisi, Nyonya." Sapaan Hanora mengangetkanku. Aku spontan memasukkan kembali benda-benda itu ke dalam laci dan perlahan bangkit menemui Hanora yang berdiri di ambang pintu.
"Ada apa?" tanyaku penasaran.
"Tuan Franzel menunggu anda di lapangan Golf belakang. Anda diminta untuk menemui Tuan sekarang juga," ucapnya sopan. Hanora memang lebih tua dariku, mungkin usianya sedikit lebih muda dari ibuku tapi, dia seolah begitu menghormatiku. Semakin ke sini, aku semakin sadar bahwa bahkan kekayaan dan status cukup berpengaruh dalam menentukan sikap.
Aku menangguk sambil tersenyum tipis. "Baik, aku akan mengganti baju dulu," jawabku sembari perlahan menutup pintu.
Di luar memang tidak terlalu panas, ini sudah mulai masuk musim gugur, pantas saja Franzel berani keluar untuk bermain golf di lapangan belakang. Aku mengganti bajuku dengan dress selutut dengan cardigan tipis yang menutup lengan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Another Hope
RomanceHope tak pernah tahu alasan mengapa hari itu James Franzel terus menatapnya. Ia tak mengenal James Franzel selain hanya mendengar dan melihat nama-namanya di majalah bisnis terkenal. Hope juga tak pernah tahu mengapa hari itu James Franzel datang ke...