8 (Escape)

16.3K 1.1K 19
                                    

Tidak ada yang lebih membosankan daripada berdiam diri di rumah selama hampir dua Minggu. Franzel benar-benar memenjarakanku di mansion sialan ini. Dia bahkan merampas hakku untuk bersekolah, meskipun dia mendatangkan beberapa guru utusan untuk mengajariku. Aku kesal karena dia sengaja tidak kembali cepat untuk memperparah hukumanku. Seandainya saja aku bisa keluar dari rumah ini.

Franzel bahkan merampas ponselku lewat Hanora, dia mengutus Hanora untuk mengambil ponselku agar aku tak memiliki koneksi untuk berhubungan dengan siapapun. Aku seperti orang depresi sekarang. Bukan karena kehilangan ponsel, melainkan karena kondisiku masih sangat kacau saat meninggalkan sekolah.

Pertama, aku meninggalkan kemarahan untuk Gwen. Kedua, aku meninggalkan ancaman Phill yang masih harus kuselidiki, dan yang terakhir, aku meninggalkan rasa penasaran bagi Ansel. Aku tidak berharap siapapun akan mencariku saat aku tak masuk sekolah selama dua Minggu. Tapi, setidaknya pasti mereka semua penasaran tentangku. Dan aku benci itu.

Dan di sinilah aku sekarang, di kamarku yang membosankan. Sudah larut malam tapi aku belum bisa memejam. Aku mengahabiskan waktu menonton Fox Movie dan HBO selama berjam-jam. Punggungku terasa pegal sendiri karena terlalu lama duduk. Aku merenggangkan otot dan sendiku untuk beberapa saat sembari melihat jam. Sudah pukul 11 malam, biasanya aku sudah mengantuk tapi selama ini aku rajin tidur siang, itu sebabnya aku susah tertidur saat malam.

Aku kini hanya berjalan-jalan tak jelas di sekitar kamar, mencari-cari kesibukan. Sebuah suara menghentikan aktivitasku, seperti suara mobil dan gerbang yang terbuka. Aku spontan berlari menuju jendela untuk melihat apa yang terjadi.

Ada empat buah limosin yang masuk ke halaman saat gerbang terbuka otomatis. Dadaku langsung terasa sesak ketika menyadari bahwa salah satu dari limosin itu pasti membawa Franzel. Aku memejam, jantung berbedar, dan ketakutan.

Apakah Franzel sudah pulang?

Bagus.

Aku sama sekali tidak tahu kabar tentangnya belakangan ini.

Aku menggigit bibir bawah dan menutup kembali tirai jendela kamar. Aku bingung apa yang harus kulakukan. Apakah aku harus tetap bangun dan menghadapi Franzel atau aku harus berpura-pura tidur? Tapi, Franzel pasti tahu jika aku sedang berpura-pura. Dia seperti mesin pendeteksi kebohongan.

Aku menggigit bibir bawahku makin keras, bingung, gusar. Aku mondar-mandir kesana kemnari, apalagi saat kudengar langkah kaki mendekati pintu. Dan saat pintu terbuka, saat itu juga kulihat Franzel berdiri tegap. Masih dengan jas rapinya. Dia menutup kembali pintu dengan kasar hingga aku terkejut.

Tatapannya menikam jantungku. Seluruh sendiku terasa begitu lemas. Mengapa dia selalu membuatku takut? Padahal aku ingat hubungan kami sebelum dia kembali ke Dubai. Mengapa beberapa hal terkadang berubah begitu cepat?

"Beraninya kau, Hope!" bentak Franzel padaku. Dia mengunciku lewat kedua lengannya ketika punggungku sudah menempel di dinding. Aku bisa merasakan kemarahannya, dia terbakar emosi, dia sangat panas.

Aku menarik nafas, berusaha mengusir ketakutan, mengumpulkan keberanian untuk menatapnya. "Maaf," ucapku nyaris berbisik.

"Maaf?" ulangnya merendahkan. Seringai dinginya terlihat jelas saat aku mengangkat kepala. Franzel mendesah kasar. "Aku sudah membiarkanmu untuk bersekolah, memberimu fasilitas mewah dan memberimu perlindungan, tapi mengapa kau seolah meremehkan semua itu, Hope!" bentaknya lebih keras.

Aku memejam, sedikit menunduk. Menyadari kesalahanku, kesalahan yang kulakukan karena tekanan. Aku ingin sekali mengatakan yang sebenarnya pada Franzel, tentang ancaman Phill, tapi aku tidak mungkin melakukan itu. Terlalu berisko. Jadi, aku hanya menarik nafas lagi dan membalas tatapan Franzel dengan tatapan penyesalan.

Another HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang