5 (Rain)

18.6K 1.3K 69
                                    


Sudah dua jam semenjak tangisanku pecah dipelukan Franzel, aku masih belum sepenuhnya merasa baik, tapi aku mencoba sebisa mungkin bersikap normal. Aku menurut saat Franzel menjagakku sarapan, tapi aku tak banyak bicara dengannya, pernyataanya kujawab seperlunya saja.

Selesai sarapan, aku memutuskan untuk menuju meja belajar dan melanjutkan PR-ku yang sempat terunda, untung saja otakku masih bisa diajak bekerja sama untuk bermain dengan intergral-integral itu. Saat kupikir setelah menyelesaikan PR aku bisa melupakan semuanya, tapi ternyata aku salah. Aku justru merasa semakin aneh karena tak tahu apa yang harus kukerjakan setelahnya.

Biasanya setiap Minggu, aku akan pergi berbelanja, ke salon, ataupun mengecat kuku, dan aku selalu melakukan itu semua bersama Gwen, hanya sesekali Franzel menemani, itupun jika dia tidak sibuk bergulat dengan tumpukan map di ruang kerjanya.

Aku tidak mengharapkan Franzel mengajakku keluar, sungguh. Bahkan aku tak menginginkannya, tapi aku sungguh sangat gusar jika tidak memiliki kegiatan pasti seperti ini. Kalau saja kejadian tadi pagi tidak pernah terjadi, pasti semuanya tidak akan seperti ini, aku bisa dengan bebas menciptakan kegiatanku sendiri. Jika boleh jujur, aku sangat ingin menyendiri, menyendiri dalam arti benar-benar sendiri, itu benar-benar kebutuhanku jika aku sedang kacau seperti ini. Jadi, saat ini aku hanya menatapi buku dan beberapa alat tulis lainya yang berserakan di mejaku, entah sudah sejak kapan aku begini.

"Hope..."

Tersentak dan merinding dalam satu waktu saat kurasakan dua buah lengan memeluk bagian bawah leherku dari belakang. Aku tak perlu menoleh dan bangkit dari dudukku untuk tahu siapa yang melakukannya. Kurasakan ujung dagu Franzel menyentuh bahu kananku.

"Hmm?" gumamku samar sambil meletakkan pensilku di atas meja. Lihat, dia bersikap manis sekarang, padahal beberapa jam lalu dia nyaris membunuhku.

"Apa masih marah?" bisiknya merdu, hembusan nafas hangatnya yang mengendai sisi leherku membuatku semakin merinding. Aku benci saat dia masih mencoba menggodaku disaat seperti ini, dan aku benci tubuhku yang selalu tergoda.

Aku menarik nafas panjang, berusaha sekuat mungkin menahan. "Aku tidak tahu, aku hanya belum merasa lebih baik," ucapku terang-terangan. Aku ingin dia sadar bahwa aku belum bisa diajak untuk saling romantis.

Franzel mendesah, kurasakan jari-jarinya bergerak untuk menyingkirkan sebagian helai rambutku yang menutupi leher. Aku nyaris memejam dan mengeluarkan desahan samar kalau saja tidak cepat-cepat aku mengigit bawahku seolah dan sekeras mungkin menahan dengan pengambilan nafas yang tak tanggung-tanggung.

"Lalu apa yang kau butuhkan untuk membuatmu merasa jauh lebih baik, sayangku?" bisiknya lebih menggoda. Ya ampun! Sebentar lagi mungkin aku akan terkena serangan jantung.

Tapi aku masih bisa menggapai akal sehatku, aku mencoba mengabaikan pertanyannya mesumnya, dan segera membalik badan dengan lincah, mengingat kursi yang kududuki adalah kursi putar, aku sangat bersyukur untuk itu.

Franzel cukup tersentak namun tak membuat dia mau menjauhkan wajahnya dariku. Ya Tuhan, bahkan saat berhadapan dengannya saja aku masih merasa sesak.

"Aku ingin sendiri," ucapku akhirnya.

Franzel menaikan alis. "Sendiri?" tanyanya agak sinis. Mungkin dia salah paham menanggapi ucapanku.

Aku menghela nafas lalu berdehem. "Aku ingin waktu sendiri, mungkin beberapa jam, aku ingin jalan-jalan sendiri. Maksudku..." Aku menatap Franzel yang mencoba mencerna. "...maksudku, aku benar-benar sendiri. Tanpa pengawasan. Kau tahu? Aku..."

Another HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang