13 (Brother)

11.3K 875 31
                                    


Aku disambut oleh pelukan dan tangisan Natalie. Wajahnya terlihat begitu pucat dan ketakutan bahkan melebihi ketakutanku. Aku berani bertaruh pasti dia secepat mungkin ke New York setelah tahu bahwa Grey mengalami indisen.

Dia begitu mencintai kakakku, meskipun aku tak yakin bahwa Grey mencintai Natalie sebesar gadis itu mencintainya. Natalie bukanlah cinta pertama Grey, dia hanyalah satu dari sekian banyak gadis pelampiasan yang selalu bersama Grey jika kakakku sedang kesepian. Meski disakiti berkali-kali, Natalie tetap mencintai kakakku. Aku mengenal Natalie karena dialah satu-satunya gadis yang tidak pernah muak dengan kelakukan Grey, sejak satu tahun terakhir dia yang selalu menemani Grey.

Grey masih mencintai Luna Whispring, cinta pertamanya yang selalu dia anggap sebagai kekasih abadinya, meski Luna dan Grey sangat jarang bertemu. Mereka hanya bertemu setahun dua kali dan aku berani bertaruh bahwa Natalie mengetahui hal itu namun dia berpura-pura tidak tahu.

"Aku tidak ingin kehilangannya." Natalie menangis sambil memelukku, aku bisa merasakan tubuhnya gemetar bahkan lebih gemetar dari tubuhku yang juga sedang terisak.

"Kita tidak akan kehilangan siapapun." Aku mengurai pelukan dan menatap wajah berantakannya yang penuh air mata.

Natalie memejam kuat, mencoba untuk mengatur emosinya. Dia mengangguk, dan sempat terkejut ketika membuka mata dan melihat Franzel yang berdiri di belakangku. Aku bisa membaca kecangungan dari wajah Natalie, dia pasti canggung karena dia pernah ikut terlibat dalam membantuku untuk kabur dari Franzel.

Aku menoleh pada Franzel, memintanya lewat bahasa mata agar berhenti menatap Natalie dengan tatapan dinginnya. Franzel mendesah kasar dan akhirnya dia memilih pergi untuk menemui Kentish yang duduk sendiri di depan ruang oprasi.

"Astaga, aku benar-benar tidak enak." Natalie menggeleng sambil mengusap sisa-sisa air matanya. Ada rasa bersalah di matanya.

Aku juga ikut menghapus air mataku. "Dia memang seperti itu." Aku mencoba memberinya pengertian tentang watak Franzel.

"Entahlah, Hope. Tatapannya seperti begitu ingin membunuhku." Natalie menganggkat kedua bahu samar. Dia tersenyum hambar.

"Dia memang menatap semua orang seperti itu, bahkan diriku. Dan aku masih hidup." Aku mencoba mencairkan suasana.

Natalie mengangguk samar. "Baiklah, sepertinya aku ingin ke kamar mandi."

Aku mengangguk. "Ya. Buat dirimu merasa lebih baik," ucapku setuju. Setidaknya Natalie harus mencuci muka untuk menenangkan dirinya.

Setelah Natalie pergi. Otomatis aku menghampiri Kentish dan Franzel yang sejak tadi dari jauh terlihat saling berbicara, entah apa yang mereka bicarakan, namun sepertinya pembicaraan itu tidak menarik.

"Bagaimana ini bisa terjadi?" Aku langsung melemparkan pertanyaan itu pada Kentish.

"Aku tak tahu, polisi menelfonku. Mereka masih menyelidiki." Kentish terlihat putus asa. Dia memegangi kepalanya seolah mengambarkan bahwa kini dia sedang pusing memikirkan apa yang terjadi.

"Dimana North dan Max?" Hatiku sedih ketika melihat lorong ruang tunggu di sini sangat sepi. Seharusnya di saat-saat seperti ini semua keluarga berkumpul.

"North sedang menuju kemari. Dan soal Max, entahlah. Aku sudah lelah menelfonnya." Kentish menyandarkan kepalanya di sandaran kursi dan menghembuskan nafas pasrah.

Hatiku terasa seperti terkikis. Bahkan di saat-saat seperti ini, Max masih belum ada kabar. Kemana menghilangnya dia?

"Aku akan membantu menemukan Max." Franzel berdiri, sambil mengeluarkan ponsel dari saku celananya, lalu kemudian menekan beberapa nomor untuk dihubungi. Franzel menempelkan ponsel itu di telinga kananya dan mulai berjalan menjauh seolah dia menelfon seseorang yang begitu penting. Siapapun yang dia hubungi, kuharap orang itu benar-benar bisa membantu untuk membawa Max kemari.

Another HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang