17 (Culprit)

11K 928 40
                                    


"Apa yang sedang kau bicarakan, Hope?"

Brount terlihat sedikit marah. Dia bangkit dari sofa tua bermotif berlapiskan rajutan kasar yang ada di kamarku. Kini dia berdiri satu meter di depanku dengan kedua tangan yang diletakkan di pinggang. Sementara aku melipat kedua tanganku di dada, masih kukuh dengan pertanyaanku.

"Aku hanya memintamu berkata jujur. Apa kau pernah menculik Franzel?" Aku mengulang pertanyaan yang sama untuk ketiga kalinya.

Ayahku mengeraskan rahangnya. Bukannya gugup, dia justru terlihat muak. Dia justru marah padaku seolah-olah aku sudah menuduhkan hal yang begitu hina padanya.

Aneh.

Entah caraku memulai percakapan yang salah, atau memang Brount yang sangat pandai bersandiwara. Menutupi ekspresi sesungguhnya yang ia rasakan. Berskiap seolah-olah aku yang sedang berbicara omong kosong.

"Hope, aku tak tahu kemana arah pembicaraan ini. Aku lelah dan aku tak tahu apa yang terjadi padamu karena kau tak menjelaskan apa maksudmu. Kita harus menghentikan percakapan ini sebelum kau membuatku benar-benar marah," ujarnya dengan begitu serius.

Aku bahkan tak pernah mendengarnya mengucapkan nada penuh tekanan itu untukku. Sepertinya ayahku benar-benar sangat jengah. Dia bertingkah seolah aku sengaja menyalahkannya tanpa alasan.

Nafasku tertahan, kepalaku mendadak pusing. Mengapa semuanya menjadi begitu sulit? Mengapa ayahku tidak mau mengaku? Apa dia hilang ingatan? Apa aku harus menjelaskan semuanya agar dia ingat?

"Franzel pernah diculik." Ucapanku menghentikan langkah Brount yang baru tiga kali menglangkah.

Dia berbalik, ekspresinya menggambarkan keterkejutan. "Benarkah?"

Aku berjalan mendekati Brount. Aku menatapnya dengan gusar. "Apa kau tak ingat apapun soal itu? Maksudku..." bibir bawahku kugigit kuat. "Seseorang mencoba memberitahuku sesuatu tentang alasan dibalik pernikahanku dengan Franzel. Dibalik kematian Grey." Aku menarik nafas berat dan menatap Brount dengan serius. "Buku harian Franzel buktinya, dia menulis tentang dendam lamanya atas si pelaku yang pernah menculiknya. Ada nama Max di sana. Semuanya begitu mengarah pada keluarga ini, dan kupikir semuanya masuk akal. Dan..."

Hening.

Aku tak bisa melanjutkan kalimatku lagi, rasanya dadaku begitu sesak. Aku ingin sekali menangis namun aku tak mampu. Brount juga terdiam, dia menatapku dengan tatapan yang begitu sulit untuk kuartikan.

"Jadi, itu alasan mengapa kau kemari, Hope?" tanyanya yang mulai melunak.

Jantungku mulai berdebar keras. Sepertinya Brount sudah mulai serius. Kedua tangannya perlahan menangkup pipiku. Menatapku iba. Ia memejamkan matanya seolah menahan sesuatu yang ada dalam dirinya. Aku semakin gemetar menunggu detik-detik dimana ia akan mengucapkan sesuatu.

"Hope..." Brount memanggil namaku lembut.

"Aku hanya ingin tahu kebenaran, Dad. Semua ini membuatku gila." Ucapanku terdengar seperti mengiba. Mengiba terhadap sebuah pengakuan yang jujur.

Brount menarik nafas. "Baiklah," dia akhirnya angkat bicara. "Kebenarannya adalah..." dia menatapku dalam. "Aku tidak melakukan itu, Hope. Dan aku hanya berharap kau percaya padaku. Bukan dengan orang yang membuatku berfikir bahwa akulah yang tega menculik seorang anak kecil."

Aku terkejut setengah mati mendengarnya. Aku mundur selangkah, seolah tak percaya.

"Dad?" sebelah alisku terangkat seraya meminta penjelasan.

Another HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang