Semalam adalah tidurku yang paling berkualitas selama aku tinggal di rumah Franzel. Aku tak membuang waktu untuk berlama-lama di ranjang saat matahari sudah menyapa. Ini adalah ujian tengah semester dan aku tak pernah merasa begitu siap seperti sekarang ini.Untungnya aku tak perlu membangunkan Franzel karena dia juga sudah terbangun saat aku bergerak dalam pelukannya. Aku tak pernah terbangun dalam pelukan Franzel, ini adalah yang pertama dan entah mengapa aku begitu senang.
"Kau pergi jam berapa?" tanyaku sambil mengancingkan baju seragamku di depan kaca. Aku bertanya karena biasanya Franzel sudah berangkat pagi sekali.
Franzel yang baru saja keluar dari kamar mandi menghentikan gerakan menggosok rambutnya sejenak. "Sudah kukatakan padamu, aku tidak tega untuk pergi," ucapnya santai. Itu terdengar jujur.
Aku kaget dan langsung memutar badan. "Lalu bagaimana dengan pekerjaanmu?" tanyaku terdengar aneh. Sebenarnya aku tak peduli dengan pekerjaannya, aku hanya ingin menikmati banyak masa-masa sendiriku minggu ini, karena ini minggu penuh ujian. Jika Franzel ada di sini, aku tidak akan fokus.
"Aku akan di sini untuk beberapa hari lagi, mungkin hingga besok, atau lusa. Entahlah tergantung kondisi," ujarnya sambil melanjutkan lagi kegiatannya mengeringkan rambut.
Aku menghela nafas pasrah untuk itu, memangnya bisa apa lagi? Semoga saja keberadaan Franzel di sini tak membuat minggu ujianku terasa sulit. Mungkin aku memang terdengar jahat karena aku adalah istri terkutuk yang menginginkan ketidakberadaan suaminya. Masalahnya, hubungan ini juga tidak normal, jadi aku juga tak bisa bersikap sebagaimana mestinya.
Aku selalu berfikir bahwa nantinya aku akan jatuh cinta dan memiliki hubungan yang awet dengan pria dengan jaket Vans atau kaos Adidas-nya, lalu kami bisa berkencan sambil berpengan tangan dengan Ice Cream yang digenggam di tangan masing-masing. Tapi khayalanku melenceng jauh dari kenyataan, karena ternyata aku justru bersama pria setiap harinya selalu memakai jas dan kemeja, tak lupa dasi yang terkalung rapi dileher tegapnya, dan kami juga takkan pernah makan Ice Cream di pinggir jalan, karena Franzel itu sangat manja jika harus berjalan kaki dan terkena panas matahari terlalu lama.
Usiaku bahkan belum mencapai 20, dan seharusnya saat ini aku bisa menikmati rasanya berkencan dengan banyak pria seperti Gwen atau mungkin, aku bisa menghabiskan waktu mudaku untuk melakukan petualangan gila bersama teman sebayaku. Ini semua masih benar-benar sangat aneh bagiku, karena memang sebenarnya aku belum, atau bahkan tak pernah siap jika harus menjadi istri dari seorang James Franzel.
Saat aku sudah selesai berdandan, aku tersenyum sedikit di depan kaca dan berbalik, aku sedikit terkejut saat mataku menemukan Franzel yang sedang memakai kaos abu-abu polosnya, kuperhatikan lagi dia meraih sebuah Hoddie yang ada di lemari, entah sejak kapan dia memiliki koleksi Hoddie.
Aku bisa merasakan lututku melemas dan dadaku sedikit berdebar saat Franzel akhirnya mengangkat kepalanya dan menatapku. Jika bisa, aku ingin mencongkel matanya yang selalu membuatku gugup itu.
"Kau sudah siap? Aku akan mengantarmu ke sekolah hari ini," ujarnya santai.
Dan mendadak aku membeku. Aku merasa kakiku seperti melengket dengan karpet, dan entah mengapa sesuatu dalam diriku seperti berdesir keras. Bukan. Bukan karena perkataan Franzel, melainkan karena penampilannya saat ini. Dia bahkan terlihat jauh lebih muda dan tampan jika seperti itu. Aku menenguk ludah dan membasahi bibir bawahku saat kusadari bahwa Franzel tengah menyipitkan matanya dan berjalan mendekatiku.
Aku langsung mengerjab dan tersadar, memperbaiki gendongan tasku.
"Hope..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Hope
RomanceHope tak pernah tahu alasan mengapa hari itu James Franzel terus menatapnya. Ia tak mengenal James Franzel selain hanya mendengar dan melihat nama-namanya di majalah bisnis terkenal. Hope juga tak pernah tahu mengapa hari itu James Franzel datang ke...