2. Rindu dan Rahasia

8.3K 406 1
                                    

Waktu sebulan begitu berat aku lewati jika harus menahan rindu seperti ini. Rindu yang hanya bisa aku salurkan lewat doa. Rindu yang hanya bisa aku lampiaskan melalui pesan singkat, mendengar suaranya melalui telepon dan memandang wajahnya melalui videocall. Tapi untuk videocall, biasanya kami lakukan ketika aku sedang bersama bang Dika. Tak baik rasanya hanya berdua saling menatap meskipun lewat telepon. Dalam waktu sebulan itu pula, aku menyibukkan diri dengan mempersiapkan pembukaan apotikku. Dan alhamdulillah, semua rencana itu terealisasikan hari ini. Tepat sebulan kepergian mas Zhafran untuk kembali ke kota kelahirannya, Batam. Mengingat namanya, lagi-lagi membuat dadaku kembali sesak akan kerinduan. Ya Allah tetap jaga hatiku dan kuatkan aku. Aku yakin Engkau telah menyiapkan rencana yang indah dibalik semua ini, aamiin.

Aku baru saja tiba dirumah pada pukul 19.40. Alhamdulillah, opening apotik baruku berjalan dengan lancar. Vania dan Fika juga menyempatkan untuk hadir, padahal mereka sedang sibuk-sibuknya berkerja di salah satu pabrik obat ternama. Dan alhamdulillah, sekarang Vania sudah menutup auratnya, dia sudah berhijrah. Dia berubah drastis, biasanya dia yang paling depan untuk menggoda bang Dika tapi tadi dia sama sekali tidak melakukan kebiasaannya itu. Bahkan dia lebih banyak diam, ah senangnya.

Setelah melakukan ritual penyingkiran bau badan dan mengusir rasa lengket, aku menjatuhkan tubuhku diatas tempat tidur lalu mengecek handphone. Aku menelan ludah kecewa saat melihat tak ada satu pun notif dari mas Zhafran untuk sekedar menyapaku hari ini atau mengucapkan selamat. Padahal semalam aku sudah memberi tahunya dan dia terdengar senang sekali. Aku mencoba berpikir positif. Dia pasti baik-baik saja disana. Mungkin dia sedang sibuk atau...lupa? Ya Allah, jangan biarkan aku berpikiran negatif. Baru saja aku ingin meletakkan handphone diatas nakas, benda itu berdering menandakan ada telepon masuk. Nama kontak yang tertera dilayar sukses menyetak senyum dibibirku.

"Assalamualaikum, mas." Sapaku setelah menggeser layar ke warna hijau.

"Waalaikumsalam, Ra." Jawabnya. Alhamdulillah, aku bisa mendengar suaranya hari ini.
"Maaf, Ra. Tadi mas sibuk mengurus laporan dari restoran. Handphone mas juga tertinggal dirumah." Lanjutnya, nafasnya terdengar terengah-engah.

"Iya mas. Nggak apa-apa kok." Jawabku lembut.

"Maaf ya. Mas memang ceroboh." Ucapnya lagi terdengar seperti merengek. Aku tertawa kecil mendengarnya.

"Iya mas. Ara ngerti kok." Ujarku, lalu turun dari tempat tidur menuju jendela kamar yang masih terbuka.

"Gimana openingnya? Lancar?" Tanyanya antusias, ku dengar suara krasak-krusuk dari seberang sana.

"Alhamdulillah mas, lancar. Kerjaan mas sudah selesai belum?" Tanyaku.

"Sudah. Ini lagi beresin kertasnya." Jawabnya, lalu kami sama-sama diam. Hanya terdengar suara kertas-kertas yang dimasukkan ke dalam map serta laci meja yang ditutup. Aku teringat, apa sebenarnya alasan orang tua mas Zhafran menyuruhnya menetap disana sekarang. Padahal sudah hampir 7 tahun mas Zhafran merantau disini, tapi kenapa baru sekarang disuruh menetap disana? Aneh.
"Ra?" Panggilnya, membuyarkan lamunanku.

"Ara masih disini, mas." Sahutku lembut.

"Kok diam?" Tanyanya lagi.

"Selesaikan dulu pekerjaan mas. Nanti nggak konsen." Jawabku serius tapi dia malah terkekeh.

"Udah selesai kok. Ini mas lagi baring." Ucapnya.

Makmum ke DuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang