3. Hilang

6.5K 363 8
                                    

Hiruk pikuk kota menemani perjalananku menuju rumah Vania yang letaknya tak lumayan jauh dari rumahku. Tadi siang dia baru saja tiba dari dinas luar kota perdananya. Tak lama kemudian, mobilku berhenti didepan sebuah rumah minimalis berlantai dua dengan warna kuning pucat. Aku turun dari mobil, lalu mengetuk pintu rumahnya sambil mengucap salam. Tak sampai satu menit, pintu rumahnya sudah terbuka. Wajah nelangsa Vania yang pertama kali ku lihat. Tak ada senyum diwajahnya, hanya gerutan kesedihan. Ada apa?
"Eh, Zahara. Kirain tante siapa." Ujar sosok perempuan seumuran bunda yang muncul dari belakang Vania.

"Iya tante." Sahutku lalu mencium tangan tante Ade, mama Vania.

"Kalian mau kemana?" Tanya tante Ade. Vania sudah berdiri disampingku.

"Mau jalan-jalan bentar, te. Soalnya udah lama nggak ngumpul." Jawabku sopan, aku melirik ke arah Vania yang diam saja.
"Kita jalan dulu ya, te. Assalamualaikum." Lanjutku, lalu mencium kembali tangan tante Ade di ikuti oleh Vania yang masih kekeuh dalam diam.

"Hati-hati. Jangan pulang terlalu larut." Teriak tante Ade saat kami hendak masuk ke mobil. Aku dan Vania hanya mengangguk. Vania masih diam dengan pandangan kosong ke depan. Pasti telah terjadi sesuatu padanya. Baru aku ingin bertanya, handphoneku tiba-tiba berdering. Nama Fika tertera dilayar.

"Assalamualaikum, dimana Fik?" Tanyaku langsung to the point, karena aku sudah tak tahan akan diamnya Vania.

"Waalaikumsalam, tempat biasa. Aku udah disini. Kalian dimana?" Sahut Fika dari seberang sana.

"Oke. Ini udah dijalan mau ke sana." Jawabku lalu membanting setir ke arah caffe, tempat biasa kami bertiga kumpul.

"Ya udah, titi dije." Ucap Fika. Setelah saling berucap salam, sambungan telepon terputus. Selama perjalanan, kami berdua hanya diam. Aku urungkan niat untuk bertanya pada Vania sekarang, mungkin nanti saat bersama Fika.

Setibanya disana, aku dan Vania langsung mencari sosok Fika. Dia sedang duduk sambil memainkan gadgetnya di pojokan sebelah kiri dekat jendela. Kami berdua pun menghampirinya. Fika mengangkat sebelah alisnya ke arahku setelah melihat Vania yang berwajah kusut dan nelangsa.
"Kamu sariawan, Van? Dari tadi diam aja." Tanyaku, berusaha mencairkan suasana yang beku ini. Dia berhasil menoleh ke arahku dengan tatapan horornya.

"Aku sedih tau!" Jawabnya dengan suara khasnya itu, cempreng. Fika terkikik mendengarnya. Vania langsung menelungkupkan wajahnya dimeja.

"Selamat malam, mbak. Mau pesan apa?" Tanya seorang pelayan yang sudah tiba dimeja kami. Aku pun membuka-buka menunya.

"Saya strawberry juice sama roti bakar selai coklat aja." Jawabku, pelayan itu menulisnya dibuku catatan.

"Mbak yang itu?" Tanyanya seraya menunjuk Vania dengan jempolnya.

"Pesan apa, Van?" Tanyaku lembut, dia masih enggan menampakkan wajahnya.

"Sama dengan Fika." Jawabnya dengan suara parau. Seleranya dengan Fika memang tak jauh beda. Fika pun menyebutkan makanan dan minuman yang ia pesan. Pelayan tersebut pergi setelah mengucapkan terima kasih.

"Kamu kenapa? Cerita dong, Van. Jangan diam aja." Celetuk Fika. Sontak Vania menegakkan kembali badannya namun wajahnya sudah basah oleh air mata. Aku dan Fika tentu terkejut.

"Cerita, Van. Biar plong." Bujukku seraya merapikan pashminanya. Dia mengambil nafas sebentar.

"Ak-aku...mau dijodohin, Ra." Jawabnya. Fika yang sedang menikmati milkshake-nya langsung tersedak. Terkejut. Seberat itukah perjodohan bagi Vania? Padahal yang ku lihat saat bang Dika dan kak Putri dijodohkan, mereka berdua terlihat bahagia dan santai-santai saja. Aku mengelus bahunya, sementara Fika mengelus punggung tangannya.

Makmum ke DuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang