7. Balasan Suratku

5.8K 338 21
                                    

     "Aunty, ayo sini sini!" Teriak Azeyla. Langkah kecilnya menapaki rerumputan untuk menuju sebuah kolam ikan yang berada di tengah taman kota. Aku menyusul Azeyla sambil menggandeng tas sekolahnya dilengan kiriku.

   "Azey lagi lihat apa?" Tanyaku sambil memainkan kunciran rambutnya.

   "Lihat deh aunty, ikan yang kuning selalu ngikutin ikan yang putih." Jawabnya seraya menunjuk ikan yang ia maksud. Aku pun turut memperhatikan ikan tersebut. Sepertinya ikan yang kuning sedang mengejar-ngejar cinta si ikan putih namun si putih selalu menjauh, pengandaian yang memang dari antah berantah ya.

   "Mungkin ikan yang kuning ingin berteman sama ikan yang putih." Ujarku, Azeyla menoleh ke arahku.

   "Tapi kenapa ikan putih selalu berenang menjauh? Sombong banget." Azey mengerucutkan bibirnya ke arah ikan putih. Aku tertawa kecil.

   "Mungkin ikan yang kuning nyebelin sih, makanya ikan putih ngejauh gitu." Jawabku, Azeyla memperhatikan wajahku sejenak lalu dia menganggukkan kepalanya.

   "Bisa jadi,Ty." Ucapnya. Bocah ini persis seperti ibunya, kritis. Bulu matanya yang lentik mengingatkan aku pada seseorang yang...aaargh cukup! Aku mencoba untuk berbesar hati. Maka beruntunglah yang menjadi suamiku kelak, betapa sabarnya sang istri sepertiku ini. Aku tertawa sendiri.

   "Aunty ngetawain Azey, ya?" Tanya Azey, dia sudah berdiri didepanku sambil berkacak pinggang.

   "Nggak mungkinlah Aunty ngetawain Azey." Jawabku lalu berjongkok dihadapannya.

   "Sekarang, kita mau kemana lagi?" Tanyaku, dia tampak berpikir.

   "Makan ice cream udah, main game udah, kemana lagi ya?" Ujar Azey seraya menghitung dengan jari-jarinya. Aku pun berdiri lalu mengamit tangannya.

   "Foto-foto aja yuk. Kita cari tempat yang bagus. Nanti kita lihatin sama nenek, kakek, papa, mama." Sahutku semangat.

   "Ayuk!" Sorak Azey. Langkah kecilnya berusaha menyamai langkahku. Terkadang dia berjalan sambil melompat-lompat kecil dan menyanyikan lagu anak-anak yang diajarkan oleh gurunya. Aku sendiri berjalan santai seraya memperhatikan yang ada disekitarku. Banyak para muda-mudi yang sedang duduk berduaan di kursi taman atau di bawah pohon. Namun, mataku tertarik pada sepasang suami istri yang rambutnya sudah dipenuhi uban, mereka sedang piknik dibawah pohon yang rimbun ditepi taman. Oh betapa romantisnya mereka. Aku tersenyum ketika nenek tersebut tersenyum ke arahku. Senyum yang menunjukkan bahwa mereka sangat bahagia saat ini. Apakah aku juga akan bahagia nantinya bersama suamiku? Sampai tua? Semoga saja, aamiin.

   "Assalamualaikum." Sapa seseorang yang sudah sangat aku kenali suaranya. Saat menoleh ke belakang dan ternyata memang benar, itu dia.

   "Waalaikumussalam." Jawabku, aku menahan khimar salemku agar tak terangkat, karna tiba-tiba angin mendadak agak kuat.

   "Hallo adik kecil, namanya siapa? Kenalan dong sama om." Ucap Jian ketika dia sudah berjongkok dihadapan Azeyla, sementara Azeyla langsung bersembunyi dibelakangku.

   "Kata Aunty, aku nggak boleh ngomong sama orang asing." Azey memegangi gamisku dengan erat. Aku dan Jian tersenyum mendengarnya, lalu ku tarik tangannya pelan untuk kembali berdiri disampingku.

   "Om ini temannya aunty, jadi dia bukan orang asing." Jelasku, Azey tampak mengerti lalu mengulurkan tangannya ke arah Jian sambil tersenyum sumringah.

   "Namaku Azeyla, panggil aja Azey. Nama om siapa?" Ujar Azeyla, Jian pun membalas uluran tangan Azeyla dengan lembut.

    "Panggil aja om Ji. Okay?" Jawab Jian, dia menampilkan senyumnya yang menawan. Azey mengangkat jari jempolnya tanda mengerti. Lalu pandangannya teralih pada sosok anak laki-laki yang digandeng Jian. Dia tampak tak asing bagiku. Bocah laki-laki yang tampan, persis seperti Jian. Ah iya! Bocah yang waktu itu memanggil-manggil Jian saat kami wisuda.

Makmum ke DuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang