5. Sahabatku

6.1K 319 10
                                    

     Langit yang tadinya kelabu sekarang mulai membiru. Burung-burung kecil mulai beranjak terbang kembali. Pelangi hadir untuk menghiasi langit di pagi ini. Mengingatkanku pada satu pepatah, bahwa setelah hujan akan ada pelangi. Benarkah itu? Bagiku, tak selamanya pelangi muncul setelah hujan. Pelangi hanya akan muncul ketika tetesan air hujan turun bersamaan dengan bersinarnya matahari. Anggap saja hujan adalah penghalang dan matahari adalah semangat kita, tanpa sang matahari kita tidak bisa menciptakan warna-warni saat hujan menerpa. Semuanya harus seimbang agar kita bisa menemukan keindahan tersebut.

     Sudah sebulan waktu berjalan semenjak surat pertama yang kulayangkan ke Batam waktu itu, namun tak ada balasan sama sekali. Bahkan dengan tanpa patah semangat, seminggu sekali aku mengirim surat dengan isi yang sama ke alamatnya, namun tetap saja hasilnya nihil. Tak ada jawaban. Hati ini tentu saja terasa pedih, namun mungkin hati ini sudah mulai terbiasa tanpa kabarnya meskipun di dalam hatiku masih tersimpan rindu dan...cinta. Yang aku tanamkan benar-benar dalam hati adalah, Allah mempunyai rencana yang indah dibalik semua ini. Aku hanya perlu bersabar seraya memantaskan diri. Biarkan waktu yang menjawab semua pertanyaanku.

     "Titt..tittt..."

Ku lihat mobil sedan hitam memasuki halaman rumah. Aku pun segera meninggalkan teras untuk menghampiri mobil tersebut.

   "Assalamualaikum." Sapaku setelah masuk ke mobil dan duduk dibagian belakang.

   "Waalaikumsalam." Sahut Fika dan Vania bersamaan. Fika pun mengemudikan mobilnya keluar dari halaman rumahku. Sementara Vania sibuk dengan gadget barunya.

   "Mau kemana?" Tanyaku. Fika melirikku melalui kaca spion yang sedang memasang seat belt.

   "Dengar-dengar di daerah kampus ada cafe baru." Jawab Fika, Vania meletakkan gadget dipangkuannya seraya menoleh bergantian ke arahku dan Fika.

   "Mau ke sana?" Tanya Vania, aku dan Fika mengangguk. Lalu Vania kembali mengotak-ngatik gadgetnya sementara Fika konsentrasi menyetir.

   "Tau deh yang gadget baru, nggak bisa lepas." Godaku sambil memasang earphone untuk mendengar Voice Note dari Azey yang dikirim oleh kak Putri. Vania menoleh ke arahku sambil memeletkan lidahnya.

   "Jaman sekarang ya harus pake gadget, nggak pake surat." Sindir Vania lalu dia terkekeh sendiri, aku melenguh kesal mendengarnya apalagi mendengar tawa milik Fika.

   "Puasin aja ketawanya, yang dijodohin pikirin juga." Sindirku balik. Tawa Fika semakin kencang sementara Vania langsung terdiam lalu mengacungkan tinjunya padaku. Sekarang tawaku yang pecah, tak tega juga sebenarnya pada Vania. Tak lama kemudian, mobil Fika berhenti didepan sebuah cafe yang lumayan besar.

   "Ayo turun." Ajak Fika, dia mematikan mesin mobilnya. Kami melepas seat belt masing-masing lalu keluar dari mobil.  Dekorasi luar cafenya saja sudah semenarik ini. Perpaduan warna putih dan hijau yang lembut membuat suasananya terlihat asri. Nuansa pepohonan nan rimbun dan sejuk sangat ditonjolkan sekali. Wajar bila pengunjungnya ramai seperti ini meskipun masih baru. Kami bertiga memilih meja yang outdoor. Karena didepan pintu masuk sudah bertuliskan "FULL".

   "Keren, ya." Ucap Fika, matanya memperhatikan desain-desain cafe yang bernama Tree and Tea ini.

   "Adem juga, subhanallah." Sahut Vania sambil meletakkan tasnya di atas meja. Tak berselang lama, seorang pelayan wanita yang menggunakan jilbab menghampiri kami.

   "Assalamualaikum." Sapanya seraya tersenyum ramah.

   "Waalaikumsalam." Jawab kami bertiga dan membalas senyumannya.

   "Selamat datang. Mau pesan apa?" Tanyanya lalu memberikan buku menu berwarna putih ke arah kami. Kami pun mulai membolak-balik menunya. Hidangan yang ditawarkan bertema teh dan juga mengunggah selera. Aku jadi bingung ingin memesan apa.

Makmum ke DuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang