10. Tamu Undangan

6.7K 372 50
                                    

Ketika hati terlalu mencintai, adakah celah untuk membenci?
Ketika luka terlalu dalam, adakah maaf yang bisa terselip?

Cerpikan genangan air hujan di tanah membasahi setiap langkahku menuju gerbang sebuah rumah yang paling besar di antara rumah-rumah lainnya di komplek perumahan elit ini. Tenda biru berdiri tegak di halaman depan rumahnya. Banyak orang berlalu lalang dan sebagian besar dari mereka tampak tergesa-gesa, mungkin mereka sibuk untuk mempersiapkan sesuatu yang sakral.

Aku menelan air ludahku dengan susah payah. Semua tenagaku sudah aku kerahkan untuk membangun pondasi hatiku. Bisa kah pondasi itu bertahan hingga nanti? Aku menghirup aroma rumput basah, lalu menghela nafas perlahan. Aku harus bisa, tersenyumlah.
Langkah demi langkah aku tekuri untuk memasuki halaman rumahnya. Benar kata bang Dika bahwa lelaki itu berasal dari keluarga berada. Lihat saja, kediamannya begitu besar padahal satu keluarga hanya ada tiga orang. Tak bisa aku bayangkan betapa sepi rumahnya ketika anak semata wayangnya itu tak berada di rumah selama ini.

Baru aku sadari ketika aku melihat di sekeliling. Bahwa gamis dan khimar coklat tuaku senada dengan tema pernikahannya. Aku tertawa dalam hati, inikah yang di namakan jodoh? Bahkan tema pernikahannya yang aku tak tau, bisa senada dengan baju yang aku kenakan saat aku berstatus menjadi tamu undangan di acara pernikahannya. Benar-benar berjodoh namun masih dalam mimpiku.

Beberapa orang yang berpapasan denganku tersenyum ramah. Mereka tak tau bagaimana rasanya kakiku saat ini.

Dingin.

Kaku.

Mau tak mau harus tetap melangkah.

Aku tiba di dalam rumahnya yang telah di sulap menjadi seperti hotel berbintang. Aku duduk di kursi yang telah di sediakan. Seperti biasa, pilihanku duduk berada pada posisi sudut. Sapu tangan sudah aku keluarkan dari tas untuk senjata persiapan. Mungkin saja nanti akan terjadi perang batin lalu menghasilkan air mata. Mataku mulai menjelajahi satu persatu dekorasinya dengan wajah yang datar namun sebenarnya hatiku penuh kagum. Bunga mawar putih bertaburan dimana-mana, itu bunga kesukaanku. Kursi tamu lumayan banyak, mungkin keluarganya memang orang terpandang disini. Dan aku rasa, ini adalah acara terbesar yang di adakan oleh keluarganya, mengingat dia adalah anak tunggal. Ya, sekali seumur hidupnya.

Sendu.

Pedih.

Gelisah.

"Assalamu'alaikum." Aku menoleh ke asal suara, seorang ibu-ibu sekitar berumur 30an duduk disampingku.

"Waalaikumussalam." Sahutku seraya tersenyum. Dia membawa seorang anak perempuan yang mungkin lebih tua dua tahun dari Azeyla, aku benar-benar menjadi pengamat usia sekarang. Aku melirik jam tangan, sudah menunjukkan pukul 09.08 Banyak tamu-tamu yang mulai berdatangan dan duduk ditempatnya masing-masing. Dari arah tempat dudukku, aku bisa melihat dengan jelas tempat kalimat sakral itu akan di sebutkan nantinya. Di dekat meja mereka, ada sebuah televisi besar yang merekam langsung akad pernikahan ini.

Aku meminum segelas air mineral untuk membasahi tenggorokanku yang kering kerontang, mungkin karena grogi. Saat itu juga, dua orang laki-laki berbaju koko coklat memasuki ruangan. Salah satunya sangat mirip dengan mas Zhafran.

Matanya.

Hidungnya.

Dan, senyumnya.

Mungkin, laki-laki itu adalah abahnya.

Lalu menyusul dua orang laki-laki lain, menggunakan baju yang sama pula. Hatiku semakin berdebar kencang, menunggu keluarnya sang pengantin.

Makmum ke DuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang