14. Dinner

5.5K 304 20
                                    

     Matahari kian merunduk ke arah barat. Mengubah warna langit kian menggelap. Pesona jingganya merasuk di antara gundukan-gundukan awan. MasyaAllah, lukisan-Mu begitu indah. Tak kan jemu aku memandangnya. Aku mulai berpikir. Cinta yang dulunya bisa membuatku hidup, lalu apakah kini juga cinta yang membuatku terasa mati? Harapanku tak boleh mati. Begitu juga cinta ini. Jujur, sampai kapan pun aku tak bisa berhenti untuk mencintai dia.

   Tok...tok..

   "Sebentar." Aku beranjak dari jendela menuju pintu kamar yang di ketuk.

   "Ada apa, bun?" Tanyaku pada bunda yang sudah berdiri di depanku dengan daster batiknya.

   "Kok jendelanya belum di tutup? Udah mau maghrib, Ra." Tukas bunda setelah dia melihat jendela kamarku yang masih terbuka lebar. Sinar senja menyinari jendela kayuku.

   "Iya nanti Ara tutup." Sahutku, aku masuk ke dalam kamar dan bunda mengikuti. Aku duduk di pinggir ranjang sementara bunda berjalan ke arah jendela.

   "Jangan lupa nanti malam, Ra. Abis isya." Ujar bunda sambil menutup jendela lalu melabuhkan tirai putihnya.

   "Kemana, bun?" Tanyaku. Bunda menghela nafas panjang.

   "Belum tua aja udah lupa." Jawabannya membuat aku mengerucutkan bibir.
   "Kan malam ini kita di undang makan malam di rumahnya Chris." Lanjut bunda, kini dia sudah duduk di sampingku.

   "Astaghfirullah..." ucapku seraya menepuk jidat. Baru ingat.

   Allahuakbar...Allahuakbar...

Suara adzan menggema dari mesjid komplek perumahan yang tak jauh dari rumah.
   "Nah, udah adzan. Bunda mau sholat dulu setelah itu siap-siap. Kamu juga ya." Ucap bunda. Aku mengangguk lalu mengantarkan bunda hingga ke depan pintu kamar. Setelah bunda berlalu, aku langsung menuju kamar mandi untuk berwudhu. Aku yakin, ini semua sudah takdir Allah untukku. Ada yang pergi dan ada pula yang datang. Semua berputar seiring waktu.

---

     Setelah sholat isya berjama'ah dirumah bersama bunda dan kak Putri, kami pun berkumpul di ruang keluarga sembari menunggu Fika untuk berangkat bersama. Sayangnya, Vania tidak bisa ikut karena harus mengikuti suaminya pergi ke luar negeri untuk mengurus sesuatu. Tak lama kemudian, ayah dan bang Dika yang baru datang dari shalat berjama'ah di masjid pun telah bergabung bersama kami.

   "Assalamu'alaikum." Selang beberapa menit, suara Fika beradu dengan ketukan pintu depan. Aku beranjak untuk membukakannya.

   "Yuk!" Ajaknya setelah kami berdua sudah saling berhadapan. Dia menarik pergelangan tanganku.

   "Eh, kayaknya semangat banget nih mau ke sana." Godaku sambil melirik ke arah rumah Christian yang tampak kian terang benderang. Dia melepas genggaman tangannya.

   "Apa sih! Aku cuma lapar!" Elaknya, Fika merengut dengan tangan bersilang di dada. Aku tertawa, seperti biasa.

   "Ada apa? Kok nggak di suruh masuk si Fika?" Ayah datang dari dalam menghampiri kami.

   "Mana mau dia di suruh masuk, Yah. Dia udah nggak sabaran pengen ke rumah Christian." Celetukku yang akhirnya mendapatkan pelototan dari Fika.

   "Bohong bohong! Jangan percaya dia, Om!" Fika mencubit lenganku. Ayah dan aku lagi-lagi tertawa.

   "Kalau benar juga nggak apa-apalah, Fik." Ujar Ayah, mungkin yang ada dalam pikiran Fika sekarang adalah 'Ayah dan anak perempuannya sama saja.'

   "Jangan, yah! Beda agama, ribet." Ujarku, kini aku mungkin akan membela Fika.

   "Yeh, tadi dijodoh-jodohin. Sekarang malah dilarang-larang." Celetuk Fika, hm aku mulai curiga.

Makmum ke DuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang