Part 1_ Kejutan di-Fakultas psikology

487 3 1
                                    

Pada sejatinya keluarga merupakan pelabuhan ternyaman untuk kita kembali dari hingar bingarnya dunia- Peter Malik.

****

           Fakultas psikology gempar ! Bukan, ini bukan sejenis gempar yang dilandasi oleh seorang mahasiswa baru yang tewas akibat per-plonco-an senior, ataupun bukan pula berasal dari ijazah mahasiswa semester akhir yang hangus terbakar. Kegemparan ini mengandung unsur musibah sekaligus anugrah.

           Akhirnya setelah melewati masa revolusi berpuluh-puluh tahun. Muncul juga matahari yang akan menjadi poros fakultas ini. Sejak diumumkannya kedatangan dosen muda baru yang tampan nan menawan, para mahasiswi menyambut dengan antusias. Jika biasanya mereka selalu melihat jadwal mata kuliah yang akan ditempuh melalui website universitas. Kali ini mereka justru berebut nongrong di depan mading besar fakultas yang berisi pengumuman sekaligus jadwal yang komplit dengan foto dosen pembimbingnya.

           "Minggir - minggir, senior cantik mau liat ...." Seorang senior berambut panjang berwarna layaknya gulali menerobos masuk kedepan antrian mahasiswi.

           Para junior-pun hanya menggerutu kesal dalam hati. Namun, tak urung juga mengalah ke belakang. Di lain sisi mahasiswa yang berlalu - lalang melewati depan mading hanya mendengus sambil bersedekap dada. Ini musibah besar bagi mereka.

          Kini para mahasiswa tak dapat lagi dengan leluasa tebar pesona pada cewek - cewek di kampus. Perhatian mereka seolah tersedot oleh pesona sang dosen baru. Itu baru foto loh, bagaimana nanti jika dosen itu menampakkan wujud nyata-nya ? apakah lebih gempar dari ini ?

           Bahkan bu Indria petugas administrasi kampus yang biasanya tak pernah bersolek, kini memakai berbagai riasan di wajahnya. Hmm ... sepertinya janda beranak satu itu sudah move on dari suaminya. Lagi - lagi karena dosen baru yang tampan itu.

           Bukan hanya karena ketampanannya yang mampu membuat para wanita menahan napas ketika melihatnya. Namun dosen muda itu juga peraih gelar master termuda lulusan harvard university dengan predikat suma coumlaude. Muka tampan plus cerdas itu perpaduan yang perfec, bukan ? Setidaknya itu yang menjadi pertimbangan awal yang sering digunakan untuk menilai seseorang.

           Pintu lift berdenting, terbuka, kemudian menampilkan objek yang menjadi pembicaraan hangat akhir - akhir ini. Peter berjalan keluar dari lift penuh wibawa. Dengan sebelah tangannya dimasukkan ke dalam saku celana dan tangan yang sebelahnya lagi menenteng tas kulit berisi laptop dan beberapa diktat bahan ajar. Kemeja putih tulang yang dikenakan membuatnya terlihat semakin fresh.

           Semua mahasiswi menatap Peter tanpa berkedip. Bagaikan lampu sorot panggung, Peterlah artisnya. Sementara para mahasiswa menatap Peter dengan envy. Mereka berandai - andai kapan kiranya akan menjadi sorotan seperti dosen muda itu.

          Peter sendiri sangat risih ditatap seperti itu. Ini pertama kalinya ia ditatap bagai bintang. Ketika kuliah di Harvard dulu, Peter hanyalah seorang mahasiswa biasa yang menghabiskan waktunya dengan belajar dan belajar. Tak heran jika predikat lulusan termuda di sandangnya. Sementara empat tahun yang lalu - Peter hanyalah anak SMA yang kurus cenderung cungkring. Mungkin keseringan berolah raga di jaman kuliah dulu yang menjadikan tubuhnya proporsional.

          Peter memasuki ruang dosen, kemudian duduk di kursi dengan meja yang diatasnya terpampang nama identitas "Peter Malik, M.Psych." diatasnya. Menghempaskan tubuhnya pada kursi dan meletakkan tasnya di atas meja.

           "Hallo dude, masih pagi kenapa muka sudah ditekuk gitu ?"

           Seorang dosen berpenampilan anggun bertanya setengah mencibir kepada Peter. Dosen perempuan itu mengambil tempat pada meja dengan identitas. Irenne Agusta, S.Psi.

           "Dapet jatah ngajar seharian full dihari pertama kamu ngajar ?" kejar Irene yang tak dapat respon dari Peter.

           Peter menghembuskan napas. Menatap Irenne. Sungguh suatu berkah tersendiri bagi Peter bertemu sahabat semasa SMA-nya lagi dan satu profesi dengannya.

"Nggak juga sih. Malah aku hanya ngajar kelas semester lima pagi ini, dilanjut siang nanti ngajar kelas semester tiga."

"Lantas ... ?" kini Irenne mengambil setumpuk paper berisi tugas mahasiswa.

"Kamu siang nanti kosong tidak ?" Peter berganti bertanya.

Irenne menurunkan kacamata minusnya. Menatap Peter lekat. "Kenapa ? mau ngajakin lunch bareng ?" tanya Irenne dengan penuh percaya diri.

Peter mendesis, lalu tersenyum. "Belum berubah rupanya ... " gumamnya

"Apa ? ngomong yang jelas, perempuan tuh makhluk sensitif." Sergah Irenne. Kemudian mengerling ke arah Peter.

           Dan juga aneh ... batin Peter menambahi. Satu hal yang masih mengganjal dalam benak Peter. Omongan dan tindakan sahabatnya ini suka tidak singkron. Anehnya, meskipun demikian, Peter merasa nyaman berada di dekat Irenne.

           "Jadi, apa ?" tanya Irenne tak sabaran lagi.

           "Gantiin aku ngajar kelas semester tiga." Jawab Peter santai. Yang kemudian dibalas pelototan tajam oleh Irenne. "please ! nanti siang peresmian klinikku. Masa ia aku tidak datang."

"Kamu buka klinik ?" tanya Irenne antusias.

           Peter mengangguk mantap. "Ia, merger dengan rumah sakit swasta. Aku buka klinik psikology disitu."

           Peter meraih bahan ajarnya, kemudian berdiri. "Aku harus ngajar, dan jangan lupa buat gantiin aku ngajar. Ok honey !" celoteh Peter sambil mengedipkan sebelah matanya pada Irenne.

           Irenne menatap kepergian Peter dengan kagum. Tidak, lebih dari sekedar kagum sepertinya. Irenne tersenyum sekilas, melanjutkan kembali pekerjaannya mengoreksi tugas mahasiswa.

***



Love, Wishes Vs The ShoesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang