Cara cinta masuk ke dalam kehidupan seseorang belum tentu dengan cara yang biasanya kita tau.
Bisa juga dari secangkir teh.
◆◆◆
Kerja, kerja dan kerja. Sekarang adalah jam dimana order sedang menumpuk.
Jam makan siang.
Aku membenarkan rambutku yang sebenarnya tidak benar benar berantakan. Pekerjaanku ini tidak melelahkan. Sungguh. Hanya saja kenyataan kalau jarak antara kantor dan rumahku terlalu jauh yang membuatku terkadang merasa kelelahan.
Tea Blends. Caffee di Belanda ini benar benar tempat yang tepat untuk duduk dan menikmati minuman hangat. Tapi tidak untukku.
Karena aku bekerja disini.
Aku --Elisabeth Novanta Delancey, biasa dipanggil Elis-- bekerja sebagai pembuat minuman disini. Pekerjaanku sehari hari adalah membuatkan teh, kopi, dan minuman lainnya.
Tapi tunggu.
Pekerjaanku tidak semudah kelihatannya.
Masalahnya adalah tea blends adalah caffee kelas atas. Yang datang kesini adalah para pengusaha, karyawan kaya hingga para artis. Jadi jangan salah. Pekerjaanku bukan pekerjaan kelas bawah. Kesalahan dan ketidakpuasan pelanggan bisa membawaku ke neraka.
"Elis, bos mencarimu," kata Jaden, rekan sedapurku.
Aku menoleh padanya dan memberenggut. "Tapi ini----," ucapku tertahan sambil menunjuk kearah tea yang sedang kuhias dengan cream milk.
Jaden yang melihatku hanya tertawa, lalu berkata, "Bos lebih penting daripada itu. Percayalah."
"Setidaknya kau harus melanjutkan ini."
"Tidak mau," jawabnya. Tapi aku tau Jaden hanya bercanda.
Aku melepaskan approne yang melekat ditubuhku dan menggantungnya disebuah hanger. "Itu untuk meja nomor 34. Thanks, Jad."
"Always me, Elis. Always me," ujarnya sambil menghela nafas. Tapi kulihat akhirnya dia mengambil cangkirku juga dan mulai mengerjakannya.
"Kau tidak boleh malas, Jad. Bagaimana mungkin kau mau bekerja di hotel ternama kalau masih seperti ini?" ujarku sebelum akhirnya berjalan pergi.
"I know, Elisabeth," kudengar dia menjawab.
Jaden punya cita cita menjadi seorang chef di Hotel bintang lima. Karena itulah dia merintis karirnya dari awal di tea blends. Dia yakin, suatu saat kemampuannya akan lebih dari cukup untuk diterima di hotel impiannya.
Sekarang pikiranku terpaku pada apa yang mau bos katakan padaku. Mungkinkah tentang kenaikan gaji? Atau mungkin kenaikan pangkat. Ya, mungkin kenaikan pangkat. Atau mungkin hal buruk. Bagaimana kalau aku dipecat? Bagaimana kalau gajiku dipotong?
Karena sibuk memikirkan hal itu, tanpa sadar aku telah berada di depan kantor bos. Tanganku mengetuk pintu sampai terdengar suara dari dalamnya.
Saat memasuki ruangan, kulihat Mr. Pal sedang duduk di atas kursinya sambil melihat beberapa berkas. Dia langsung menaruh berkasnya itu dan melihat kearahku.
"Duduklah, Lis," ujarnya.
"Ada apa, bos? Apa ada masalah?"
"Apa harus ada masalah untuk memanggilmu?" tanyanya sambil tersenyum hangat. Mr. Pal hanyalah seorang bos yang bagiku sudah cukup tua untuk pensiun. Seluruh rambutnya sudah putih, bahkan pada kumis dan sedikit jenggotnya. Entah apa yang membuatnya tidak mau melepaskan tea blend dan pergi menghabiskan masa tuanya.
"Umm, tidak, bos. Maaf," jawabku sekenanya.
"Aku mau minta tolong padamu, Lis."
"Minta tolong apa?"
"Kau tau aku punya cabang tea blends di beberapa negara kan?" tanyanya sambil mengetuk ngetukan pulpen diatas meja.
"Iya, ada apa bos?"
"Aku mau kau pindah ke cabang tea blends ku di inggris."
Apa?
Tunggu tunggu.
Apa?! Inggris?!
"Oh my--- maksudku, aku harus pindah kesana?" tanyaku memperjelas.
"Tentu saja, Lis. Semuanya sudah kuatur. Kau tidak perlu mengkhawatirkan masalah tiket pesawat, visa, passport, rumah, dan apapun itu karena semua sudah kuatur," jelas Mr. Pal seakan menjawab rentetan pertanyaan yang ada di otakku.
"Tapi kenapa? Ada apa dengan cabang bos di Inggris?"
"Cabangku yang satu itu tidak seperti disini. Rasanya disana tidak seramai dulu. Kebetulan aku sudah memindahkan tempatnya kemarin dan menurutku lebih strategis. Tinggal bagaimana cara kau membuat tea blend disana berhasil."
"Membuatnya berhasil?" tanyaku mengulang ucapan Mr. Pal barusan.
"Tentu."
Aku? Girl from Dutch move to England?
Mustahil.
"Tapi bagaimana kalau aku tidak bisa mengembangkannya? Bagaimana kalau aku tidak bisa?"
"Tenanglah Lis."
Tenang katanya?
Tenang?!
"Disana ada banyak karyawan, Lis. Lagipula aku menempatkan seorang manager berbakat disana," sambungnya.
"Manager berbakat?"
Ya Tuhan, manager berbakat tidak akan membuat tea blendsmu bangkrut, Mr. Pal.
"Ya, dia yang mengharumkan nama tea blend di Inggris sejak setahun yang lalu. Tapi karena masalah tempatlah yang membuat tea blendsku bangkrut."
Akhirnya dia mengakui kalau tea blend disana bangkrut.
"Bagaimana, lis?" tanyanya tiba tiba.
"Akan jadi apa aku disana? Sama seperti sekarang?"
"Apa lagi kalau bukan caffee consultant? Tugasmu adalah membantu manager disana memasarkan tea blend ke dunia luar."
"Dunia luar? Hmmm."
Saatnya keluar dari cangkang dan pergi, Lis. Dunia luar, dunia dimana kau akan bertemu banyak orang. Lebih dari disini. Dan yang terpenting, keluar dari dapur. Keluar dari cangkangku selama ini.
Kesempatan tidak datang dua kali, Lis. Tidak akan.
Dua pilihan.
Tinggal dan terjebak di dalam dapur selamanya atau pergi dan menjelajahi dunia baru walaupun resikonya tinggi.
Opsi kedua lebih menantang.
Baiklah, Lis. Sejak kapan kau suka sesuatu yang menantang?
"Aku ambil pekerjaan itu," jawabku yakin.
"Bagus. Aku tau kau akan mengambil pekerjaan ini. Dan aku tau tidak ada orang sebagus kau, Lis, untuk menjalankan tugas ini," ujar Mr. Pal dengan tangan teracung kedepan. Aku pun menjabat tangan itu tanda sepakat dengan harapan semua akan baik baik saja.
◆◆◆
KAMU SEDANG MEMBACA
a cup of tea [h.s]
FanfictionElisabeth Novanta Delancey tidak pernah menyangka kalau ia akan dipindahkan ke cabang cafenya yang baru di London. Semuanya baik baik saja sampai ia bertemu dengan keempat rekan barunya yang tampan dan managernya yang sangat "don juan" itu. Written...