Dari balik gerbang yang cahayanya sudah meredup keluar sesosok lelaki bertubuh tegap dengan pahatan tampan bak dewa yunani. Semua mata tertuju padanya, terpana. Telinganya yang runcing membuat para penduduk berbisik-bisik heran.
"Elves" gumam lelaki di sebelahku. Ia menghela napas lega.
"Apa yang terjadi Dev?" Aku menoleh ke arahnya. Ia mengusap peluh di dahinya. Apakah tadi ia ketakutan?
"Tidak perlu khawatir Oly, semua baik-baik saja" ucapnya lebih pada dirinya sendiri.
Aku kembali memperhatikan laki-laki bertelinga runcing itu. Ia melihat ke arahku. Mata kami bertemu, ia terlihat kaget namun segera di tutupinya. Matanya beralih menatap Devan yang di sebelahku. Laki-laki itu tersenyum tipis sepertinya ia telah menemukan sesuatu yang menarik baginya. Devan mencengkeram lenganku kuat membawaku pergi dari sana.
Devan mempercepat jalannya. Saat ia rasa sudah cukup jauh dari bukit itu ia menggendong ku dengan tiba-tiba. Membuatku memekik terkejut.
"Apa yang kau lakukan? Turunkan aku bodoh" aku memukuli dada bidangnya.
"Berpegangan padaku atau kau akan jatuh" ia menatapku serius. Tanpa aba-aba ia berlari kencang. Reflek aku mengalungkan tanganku di lehernya. Memeluknya erat. Jika ia berlari biasa aku tidak akan memeluknya seerat ini. Namun ia berlari sangat cepat melebihi kecepatan wajar seorang manusia.
Ia berhenti berlari lalu menurunkan ku. Ternyata ia membawaku ke toko roti miliknya. Ia menarikku masuk.
"Duduklah. Jangan kemana-mana, aku harus berkemas" perintahnya tegas lalu menghilang dibalik pintu yang menghubungkan toko roti dengan rumahnya. Apa ia bilang berkemas? Memangnya ia akan pergi kemana?
Suara perdebatan terdengar dari balik pintu yang dimasuki Devan. Bibi Nighel keluar dari balik pintu menghampiriku diikuti paman Nighel di belakangnya.
"Sayangku kau baik-baik saja?" Bibi Nighel memelukku erat. Aku balas memeluknya.
"Aku baik-baik saja" aku mengusap punggungnya meyakinkan bahwa aku baik-baik saja. Aku tidak mengerti dengan situasi saat ini. Kenapa bibi tampak sangat khawatir padaku? Dan Devan, akan pergi kemana ia?
Bibi Nighel melepaskan pelukannya. Ia menggenggam kedua tanganku.
"Olyna, aku minta satu hal padamu. Tolong apapun yang di katakan Devan padamu tolong percaya padanya" ia menatapku penuh harap. Paman Nighel menghampiri kami. Ikut menggenggam tanganku.
"Devan tidak akan pernah berbohong padamu Olyna. Sebagai teman ayahmu tolong percaya padaku"
Aku semakin tidak mengerti dengan situasinya tapi tidak mengurungkanku untuk tidak mengangguk. Aku mengangguk mantap pada Bibi dan Paman.
"Aku akan percaya pada Devan" kataku yakin.
"Takdirmu semakin dekat Olyna. Kau harus yakin pada dirimu dan ingat jangan pernah kau mengingkari kebaikan" paman Nighel menatap lurus mataku. Aku mengangguk meski tidak mengerti apa maksud perkataan paman Nighel.
Devan keluar dari balik pintu bersama tas yang ku rasa cukup besar di punggungnya. Ia menghampiriku. Berlutut didepanku lalu meraih tanganku untuk di genggamnya.
"Dengar Oly, apapun yang terjadi jangan pernah lepaskan tanganmu dariku. Tetap genggam tanganku sebagai peganganmu. Aku tidak akan pernah mengkhianati dan tidak akan pernah melepaskan tanganku padamu" lalu ia mencium tanganku. Darahku berdesir hatiku menghangat.
"Berdirilah Devan" ia berdiri dihadapanku. "Aku berjanji padamu tidak akan pernah melepaskan tanganku padaku. Tetaplah genggam tanganku. Tuntun aku bersamamu" Devan mengangguk mengerti. Ia memelukku tangannya mengusap rambutku lembut. Aku menyukai pelukannya yang hangat ini.
"Sudah selesaikah kalian?" Suara asing mengagetkan kami semua. Aku mengurai pelukan Devan. Mencari pemilik suara. Betapa terkejutnya aku saat mendapati pria bertelinga runcing tadi sedang bersandar pada pintu masuk toko.
"Cepat sekali kau menemukan kami Elves" ujar Devan sinis.
"Oh Platinum Guardian jangan panggil aku Elves. Aku merasa terhina dipanggil seperti itu olehmu" ia tersenyum miring.
"Perkenalkan aku Max Regeritte, son of king Julian Regeritte of Elvennight" ia membungkukkan badannya memperkenalkan diri.
"Sang putra mahkota dari Elvennight Kingdom?" Tanya paman Nighel. Oh yang benar saja, hanya aku yang telihat bodoh disini. Aku sedikit pun tidak mengerti apapun.
"Benar sekali The Guardian" Max tersenyum pada paman Nighel.
"Apa maksudnya itu Devan?" Aku berbisik pada Devan yang disampingku.
"Yang mana?" Devan bertanya balik mungkin pertanyaan ku tadi kurang jelas.
"Pertama, siapa dia? Kedua, Apa itu Elves dan Elvennight? Ketiga, apa itu Platinum Guardian? Keempat, apa itu The Guardian? Dan kelima kemana kau akan pergi?" Devan mengernyit dengan pertanyaan beruntun ku.
"Pertama, dia hanyalah penunjuk jalan kemana kita akan pergi. Kedua, elves adalah makhluk seperti manusia bertelinga runcing seperti yang kau lihat dihadapanmu itu, Elvennight adalah kerajaan para elves. Ketiga, Platinum Guardian adalah penjaga dan pelindung Golden Apple, dalam sejarah hanya aku dan Juan Van Vogh yang mendapat gelar Platinum Guardian. Keempat, The Guardian adalah penjaga dan pelindung Golden Apple, sepertiku tapi pada tingkat yang lebih rendah dari Platinum Guardian. Kelima, bukan aku yang pergi tapi kita. Kita akan pergi ke tempat yang aman untukmu yaitu Otherside." Jawab Devan panjang lebar. Pelahan aku mencerna penjelasan Devan. Max mendengus tidak suka ketika Devan mengatakan bahwa ia hanyalah penunjuk jalan.
"Emm Devan. Apa itu Golden Apple. Dan mengapa aku juga ikut pergi bersamamu? Kenapa kita pergi kesana?" Tanyaku lagi karena aku masih kurang paham dengan semua ini.
"Yang mulia, bisakah kau tidak banyak bertanya agar kita cepat pergi ke Otherside?" Ujar Max sopan padaku. Nada bicaranya memang sopan tapi maknanya membuatku ingin menginjak kakinya.
"Nanti ku jelaskan diperjalanan. Benar kata Max sebaiknya kita bergegas" Devan menatapku lembut memberiku pengertian. Aku mengangguk pasrah.
"Tapi aku belum berkemas"
"Kau hanya perlu membawa dirimu sendiri dan kalungmu ini. Selebihnya serahkan padaku. Aku sudah menyiapkan semuanya" Devan menyentuh kalung yang menggantung indah dileherku. Aku berbalik menatap paman dan bibi Nighel. Mengucapkan terima kasih banyak atas segalanya. Kami berpamitan dengan paman dan bibi Nighel. Devan menuntunku ke arah kuda putih yang sangat cantik.
"Ini milikmu, naiklah" Devan membantuku menaiki kuda. Kemudian ia berjalan ke arah kuda hitam yang gagah dan menaikinya. Max berbalik memunggungi kami. Seberkas cahaya putih keluar dari punggungnya membentuk garis garis melengkung seolah ada sepasang sayap yang tak kasat mata hanya dengan garis tepi, kemudian terbentuklah sayap dengan bulu bulu putih halus bercorak emas. Dengan bangga ia merentangkan sayapnya membuatku terpesona oleh sepasang sayap indah yang bersarang dipunggungnya itu.
"Sudah siap?" Tanya Devan membuyarkan kekagumanku pada sayap yang di miliki oleh Max. Aku mengangguk mantap. Melambaikan tanganku pada bibi dan paman Nighel yang juga dibalas mereka dengan lambaian. Aku dan Devan memacu kuda yang kami tunggangi. Kuda putih yang cantik dan kuda hitam yang gagah pun berjalan bersisian kemudian mulai berlari dengan Max yang terbang di depan kami. Memandu jalan kami menuju Otherside.
Aku tersenyum tipis. Walaupun sulit untuk diterima tapi inilah takdir baruku yang sedang menanti, selama Devan selalu di sisiku aku siap dengan segala takdir yang menghadang. Kuda kami berlari kencang ke arah matahari yang perlahan terbit di ufuk timur menyinari perjalanan kami dengan cahayanya dan membuat sayap Max tampak berkilauan.
♡♡♡
GL

KAMU SEDANG MEMBACA
Fairest [ON-HOLD]
FantasíaIni bukanlah mimpi tapi kenyataan yang tak bisa disangkal. Kupu-kupu tak lagi terbang indah. Awan terus berarak. Sebelum tawa terperai dan masa depan kelabu. Dengan nafas keabadian ku yakini dunia ini hanya delusi. Api membara dihatiku. Akankah tera...