The Emperor's Heart Chapter 1

2.9K 140 3
                                    


"Jadi, kau benar benar akan pergi?"
Akashi mengangguk, tak ada kemantapan dalam anggukannya, hanya anggukan yang berperan sebagai jawaban.
Pluk
Sepasang tangan pucat menepuk pipinya pelan.
Akashi mendengus.
"Tetsuya."
Kuroko tersenyum, tangannya beralih mengelus rambut laki laki yang hanya beda 10 centi dengannya. tak disangka surai sewarna darah ini begitu lembut tersisir di tangannya. Empunya hanya terpejam menikmati belaian di rambutnya.
"Jaga dirimu baik baik, Akashi-kun. Kau bukan lagi di Jepang."
Ada sedikit siratan sedih dari mata amber Kuroko.
"Perancis.." ucapnya mengadah langit. "..aku tidak tahu betapa jauhnya itu."
"Tak sampai satu juta tahun cahaya, Tetsuya."
Pletak
Akashi terkekeh melihat wajah cemberut Kuroko. Menggemaskan. Sangat menggemaskan. Wajah yang benar benar hanya ditunjukan untuknya. Dan ini kali terakhir ia dapat melihatnya. Akashi menundukan wajahnya, matanya begitu teduh saat menatap sepasang manik biru muda yang menawan. Bila ini adalah keputusanya, mencium Kuroko saat ini tidak akan jadi yang terakhir, janjinya dalam hati. Bibirnya pun menyentuh bibir Kuroko, memagutnya dengan lembut.
Dorongan pelan di dadanya menghentikan ciuman mereka. Dapat dilihat wajah Kuroko yang memerah dengan mata berkaca kaca.
"Sudah waktunya, Sei-kun."
Akashi mengangkat kopernya, sebelum benar benar melewati boarding pass dikecup singkat dahi Kuroko.
"Pastikan kau memegang ponselmu kemanapun kau pergi, Tetsuya."
Kuroko tertawa, "Aye aye, sir."
.
.
.
.
.
Sepuluh Tahun kemudian
-Perancis-
Akashi berjalan sepanjang deretan toko kue dengan baguette dalam keranjang terpajang di estalase nya. Matanya menangkap bosan atmosfer eropa yang sudah sepuluh tahun ia selami. Tak jauh beda dengan Jepang, Prancis punya empat musim, Prancis punya menara eiffel untuk menggantikan tokyo tower, Prancis punya banyak area perbelanjaan, sebutan kota cinta mode menjelaskan segalanya. Tapi, tidak ada sakura di Prancis. Tidak ada bunga mungil berwarna merah muda yang ketika berbunga akan menampilkan nuansa pink dimanapun kaki berpijak. Tidak ada festival musim panas. Dan yang pasti, tidak ada Kuroko di sini.
"haah.."
Pluk
Sebuah map hitam yang cukup besar mendarat di kepalanya.
"Bonjour, Monsiur Akashi!"
"Berisik sekali kau, Mayuzumi."
Yang disebut namanya hanya tersenyum, sudah biasa, mau seberapa besar kadar ceria nya saat menyapa tuan mudanya pasti hanya dibalas dengan dingin.
"Seharusnya kau menambahkan -san dibelakang namaku, mengingat aku lebih tua darimu, Akashi."
Akashi mendengus sebal.
"Setiap hari kau memanggilku Akashi-san, untuk apa aku memanggil orang yang memanggilku san dengan sebutan san juga."
Mayuzumi memijat dahi nya.
"Baik baik, aku mengerti. Jadi, aku hanya akan memberitahumu kalau hari ini kita ada meeting penting--"
"Aku sudah tahu."
Mayuzumi kembali memijat dahinya.
"Baiklah, aku pergi sekarang. Hubungi aku kalau kau tersesat atau bagai--hyaa haha aku hanya bercanda."
Mayuzumi menampilkan muka seakan bersalah sebelum akhirnya lari meninggalkan muka suram akashi dengan tongkat golf mengacung ke atas.
.
.
.
.
-Jepang-
Kuroko tengah mengangkat sekeranjang besar berisi bunga mawar potong dan beberapa bunga lainnya, ketika dirasa bebannya semakin ringan, dan..tubuhnya juga?
"Yo, Kuroko, kulihat kau kesulitan mengangkat semua itu."
"Hhh..Bakagami-kun."
"Oi, jangan menambahkan kun setelah memanggilku baka Kuroko!"
"Turunkan aku Kagami-kun."
"Tentu, setelah kita sampai."
Kuroko kembali mendengus sebal.
Setibanya mereka di sebuah ruko kecil dengan banyak bunga di dalamnya. Seorang wanita keluar, menyambut mereka dengan keramahan yang luar biasa terutama untuk Kuroko.
"Ohayo Momoi-san."
"Ohayou Tet-chan Ohayou Kagami! Ayo masuk."
Keduanya menghela nafas pasrah dengan kelakuan wanita tersebut. Sudah jadi hal biasa.
"Permisi."
"Ah masuk masuk, jangan sungkan sungkan.
Momoi, teman semasa smp nya, gadis bersurai pink yang sempat menjadi manajer nya dulu, kini menjelma menjadi wanita cantik yang anggun, walaupun sikapnya masih sama saja. Dan..perasaan yang masih sama. Masih menggilai Kuroko walaupun saat ini dirinya telah menjadi istri dari Aomine Daiki dan menjadi ibu dari Saroko-chan. gadis kecil dengan surai pink menurun dari ibunya. Mengenai Saroko, Kuroko pernah menyesal karena menanyakan dari mana nama itu didapat.
'Saroko, gabungan dari Satsuki dan Kuroko tentu saja!'
Kurasa Aomine hanya berperan membuat dan memberi nama belakangnya, karena citra anak itu adalah gabungan Momoi dengan Kuroko.
"Yo Tetsu, cih Bakagami."
Momoi dan Kuroko menatap bosan dua orang rival-idiot yang tengah beradu mata dengan nafas menderu. Menjijikan. Momoi menuang air panas ke dalam teko mungil bermotif sakura, aroma teh seketika menguar. Sembari membawa senampan perlengkapan minum teh, Momoi memberi instruksi agar Kuroko mengikutinya. Meninggalkan dua rival-idiot yang masih saja bersiteru.
"Silahkan." Ujar Momoi setelah menuang teh untuk Kuroko. Kuroko mengangguk sebagai jawabannya.
Mereka berdua hanya pindah ke beranda depan untuk mendapat udara segar.
"Nee Tet-chan, bagaimana kabar hubunganmu dengan Akashi?"
Puh.
Kuroko menyemburkan teh nya dengan tidak elit. Ada rona di wajahnya. Mendadak nafas Momoi menggebu gebu, sungguh pemandangan yang langka, pikirnya. Sembari membersihkan teh yang tumpah, Momoi senyum senyum saja, dilihat dari ekspresi Kuroko yang malu malu seperti itu, sudah pasti hubungan merek istimewa bukan?
"Aku tidak memaksa untuk bercerita kok, hehe"
Kuroko menarik nafas, "Jangan menggodaku Momoi-san."
Tawa Momoi meledak.
"Hahaha ya ampun Tet-chan, kau ini masih imut saja hahaha."
Perempatan numpang lewat di dahi Kuroko.
"Jadi kau pasti sudah mendengarnya langsung ya?"
"Mendengar apa?" ujar Kuroko bingung.
"He..jadi kau belum tahu? Akashi kan kembali ke Jepang hari ini."
Prang
Kuroko menjatuhkan cangkirnya. Shock. Terkejut. Kaget. Frasa apalagi yang cukup menggambarkan perasaan nya saat ini selain ketiga hal tadi. Sedih. Kecewa. Marah. Frasa yang cungkup sebagai penambah. Kuroko terkejut menyadari perbuatannya, segera dia mengambili pecahan porselen cangkir tersebut.
Ittai
Sebuah goresan tercipta di jari manis nya, disusul darah yang mulai keluar.
"Hati-hati Tet-chan!" Momoi tampak begitu khawatir.
"Ah maafkan aku, cangkirnya...akan kuganti."
Wajah Kuroko seperti tidak fokus, matanya nampak kosong. Hatinya resah, pikir Momoi.
"Jangan pikirkan cangkirnya, obati saja lukamu tet-chan.."
"..maafkan aku, aku tidak menyangka kalau berita itu mengejutkanmu, Tet-chan."
Keduanya hening.
.
.
"Penerbangan mana?"
Momoi yang masih sibuk memberesi pecahan cangkir, mengamati sejenak wajah rekan tercintanya. Tersenyum.
"Akashi sampai malam ini, kau berniat menjemputnya?"
Kuroko menggeleng, "Tidak."
"K kenapa? Tet-chan, bukankah kau merindukannya?"
Kuroko mengambil alih pekerjaan Momoi, dan dengan cepat dia selesaikan.
"Bukan kewajibanku lagi, Momoi san ini sudah selesai, aku ada pekerjaan yang harus kuselesaikan."
"Tapi, Tet-chan..bisa jadi Akashi lupa menghubungimu atau apa.."
"..Momoi-san.."
"Tet-chan, kau--"
"Dia berhenti menghubungiku sejak dua bulan lalu..."
Momoi tak melanjutkan apapun lagi, keduanya terdiam. Dan tanpa sadari Aomine dan Kagami telah mendengarkan obrolan mereka sejak awal. Dengan tangan Kagami yang mengepal.
.
.
.
.
Kuroko berjalan dengan langkah gontai, matanya menatap hampa jalanan yang masih ramai kendaraan. Kedua tangannya memegang penuh tas berisi bahan makan malam. Tofu. Kuroko merutuki dirinya sendiri. Kenapa dirinya membeli tofu, untuk apa, seakan dia berniat menyambutnya malam ini. Kuroko menghela nafas berat. Kakinya terus saja melangkah, hingga sebuah suara menghentikannya.
"Tetsuya."
Mata Kuroko membulat, dan kemudian meredup. Tenggorokannya terasa perih, seperti sesuatu akan keluar. Dadanya sesak, bisa saja meledak kapan saja.
"Akashi-kun."
Dihadapannya berdiri pria yang dinantinya selama sepuluh tahun. Pria yang masih saja sama, bahkan semakin tampan saja. Surai crimsonnya masih menyala. Tatapan dingin yang berubah hangat saat menatapnya. Dan..bibir itu, bibir yang tersenyum setiap kali bersamanya, bibir yang bisa saja menusuk tiap orang yang menyakitinya dengan kata kata, bibir yang ketika terbuka hanya bersuara mutlak, bibir yang ketika menyentuh bibirnya terasa sangat hangat dan menyesakkan.
Kuroko menunduk, poni nya menutupi wajah, menimbulkan aura gelap. Dengan perlahan dia mendekati Akashi.
Akashi yang melihat Kuroko berjalan ke arahnya, ikut mempersempit jarak keduanya. Hatinya begitu berdebar. Antara nafsu ingin memeluknya sekarang juga, dan juga ingin mengatakan 'tadaima' seperti yang ia nanti nantikan sejak sepuluh tahun lampau.
"Tetsuya, tadai--"
Duaagh
Tubuhnya terhempas menghantam pembatas jalan. Sambil meringis kesakitan, Akashi menatap kaget Kuroko. Kenapa Kuroko menendangnya? Dan ditatapnya Kuroko dengan perasaan campur aduk sekaligus bingung. Sebagian besar bingung, bingung karena uke nya memiliki kekuatan mahadahsyat yang menakutkan.
"T Tetsuya.."
"Apanya yang tadaima.."
Kuroko mengangkat wajahnya. Menampilkan ekspresi paling berantakan yang dia miliki. Air matanya tertahan dipelupuk mata, alisnya menukik, wajahnya merah.
"Apanya yang tadaima! Akashi bodoh!"
Melihat taksi melintas, Kuroko menghentikannya dan masuk, meninggalkan Akashi yang masih terduduk di jalan dengan wajah bingung.
"Ha?"
.
.
.
TBC

The Emperor's HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang