The Emperor's Heart Chapter 3

1.4K 111 1
                                    

.
.
.
"..shi.."

"..kun.."

"...Akashi kun!"

Akashi tersentak, yak sejak kapan dia ketiduran sampai berliur. Bercanda. Mengusap wajahnya, mengumpulkan bilah bilah nyawa yang sempat tamasya entah kemana. Menghela nafas sejenak, sebelum menyeringai mengerikan.

Grep

"Mmm..Akashi kun?"

"Apa?"

Dahi Kuroko berkedut, membentuk persimpangan. Tangannya sudah siap siap melancarkan ignite pass ke wajah pria tampan yang seenak jidat menarik nya dan membuat posisi memalukan seperti ini. Bukan benci sih, hanya saja..Posisi seperti ini, membuat sesuatu dalam diri Kuroko gelisah.

Hatinya

Bukan yang mana mana.

Hatinya berdegup kencang dengan posisi dirinya dipangku Akashi, belum lagi tangan kekar yang merengkuh erat pinggangnya. Nafsu duniawi memang berat.

"Bukan 'apa', tapi bisakah aku duduk sendiri?" ujar Kuroko tenang (mungkin).

Akashi semakin menjadi, kali ini jemarinya menyusup ke dalam kaos polo Kuroko, mengusap usap perutnya.

Semakin ke atas

Ke atas...

BLETAK

"A aduh..Jahatnya Tesuya.."

Akashi memasang pose manyun, yang---yang sebenarnya sama sekali tidak ada taraf keunyuan sedikitpun didalamnya mengingat yang melakukan nya sang dewa absolut-membuat Kuroko ber-blushing ria.

"Ada apa denganmu, Akashi kun? Kau tampak aneh hari ini."

Akashi menggeleng dan menempatkan kepalanya di pundak Kuroko, menyesap aroma vanila yang menguar sayup sayup. Aroma yang sangat manis, sangat manis, sampai sampai ia ingin 'memakannya'. Tapi Akashi sudah mempasung jauh jauh hari nafsu nya, sebelum ia benar benar mendapat ijin eksklusif langsung dari Kuroko nya.

Kuroko tersenyum,mengusap usap surai Akashi yang kini sudah berada dipahanya. Mata Akashi sendiri sudah terpejam sejak tadi. Dia berada dalam zona nyaman yang memabukan.

"Tetsuya.."

"hmm.."

"Apa kau ingat sesuatu yang kau katakan pada hari kematian ibu ku?"

Kuroko terdiam sejenak, kemudian menundukan wajahnya, mengecup pelan dahi Akashi.

"Tentu saja aku masih ingat."
.
.
.
.
.
.
Flashback

Seperti halnya rumah duka, kediaman Akashi juga begitu nampak berduka. Ayahnya berdiam diri di depan peti tempat wanita cantik bersurai scarlet tersebut tertidur untuk selamanya. Kanker. Dokter memutuskan seperti itu, bagaimanapun Akashi kecil bukanlah anak kecil, dirinya sudah berumur 10 tahun. Dia tahu apa itu kanker, dan bagaimana penyakit sialan itu bekerja perlahan menggerogoti ibunya. Setiap hari dia mengunjungi ibunya, melihat bagaimana ibunya semakin terlihat tak berdaya, namun, untuknya tetaplah wanita tercantik di dunia. Dan kini, beliau tampak sangat cantik dalam balutan gaun putih berenda dengan potongan bahu yang lebar, memgang setangkai bunga bakung. Seperti pengantin. Hanya saja, kini dia tak bernafas, dia tidur dan tidak ingin terbangun lagi.

Akashi tidak pernah menangis, tidak akan pernah menangis.

Dan sebuah tangan menepuk pipinya. Tangan pucat milik bocah dengan sepasang mata yang meningatkannya pada langit musim panas. Bocah itu datang bersama ayahnya, mungkin semacam kolega ayahnya. Akashi tidak membuat perubahan ekspresi yang berarti. Bingung malahan.

Bocah itu tersenyum,

"Kuroko Tetsuya, yoroshiku onegaishimasu."

Saat itu, dia mendapatkan musim panasnya kembali.
.
.
.

.
.

Akashi tersadar dari lamunannya, menatap wajah Kuroko yang menunduk.

"Hari ini hari kematian ibuku.."

"Aku tahu, apa kau mau mengunjungi makamnya?"

Akashi menggeleng, "Bukan itu.."

Kuroko tersenyum, senyum yang sama seperti waktu itu.

"Aku akan hidup lebih lama darimu..."

"Aku masih mengingatnya, maka percayalah padaku, Akashi kun. Itu janjiku, janji bahwa aku akan hidup lebih lama darimu."

Akashi bangkit, memeluk Kuroko. Belum pernah dia merasa sebahagia sekaligus setakut ini. Dan lagi dirinya memang gelisah, karena sebentar lagi dirinya tidak dapat bertemu Kuroko untuk beberapa pekan. Urusan kerja.

Walaupun setelahnya mereka akan bertemu kembali.

Di depan altar gereja.

"Terimakasih.." ucapnya.
.
.
.
.
.
.
.
.
Dua orang dengan raut wajah yang terlalu bahagia, hingga membuat siapapun ikut merasakan kebahagiaannya. Sebuah gereja kecil yang berhiaskan bunga bakung putih. Setelah di jari keduanya tersemat cincin keperakan, warna khas platinum, jangan lupakan dua kata yang menyelesaikan semuanya..

"...Aku bersedia.."

Prosesi diakhiri dengan ciuman hangat dari keduanya, yang membuat Kagami mendelik kesal, Aomine tidur ngorok, dan Momoi yang sibuk menutupi mata Saroko. Sebagai ritual terakhir dari pernikahannya, Kuroko melemper buket bunga nya dengan tenaga berlebihan yang membuat tamu wanita berlari sempoyongan. Kuroko sendiri hanya tertawa kaku.

Hup

"Eh..nanodayo.."

Buket tersebut jatuh pada pemuda tinggi bersurai lumut dengan tamoang tsundere taraf akut, di sebelahnya seorang pemuda yang lebih pendek dengan wajah menahan tawa.

"Shintarou.." ujar Akashi.

Midorima berusaha menutupi rona wajahnya dengan menjitak Takao yang masih terbahak bahak. Keduanya nampak tak bersahabat, tapi ayolah, dilihat sepintas juga kau tahu kalau ini pasangan cancer-scorpio, pasangan dengan tingkat kecocokan seratus persen, pasangan yang selalui dibumbui dengan sifat tsundere si cancer. Midorima masih membawa stetoskopnya, Takao tahu kalau dia tak sengaja membawanya, tapi ke tsundere an Midorima mengatakan lain.

"Ini lucky items ku hari ini." ujarnya.

"Kurasa sebentar lagi kita akan menyusul mereka, nee, Shin-chan~"

Midorima membetulkan kacamatanya, yang sebenernya alibi untuk menutupi rona wajahnya.

"Hanya dalam mimpimu, Bakao."

'Tentu saja, bodoh.'

Tsundere memang begitu, lain hati lain ucapan.

Akashi menarik Kuroko menjauhi kerumunan orang idiot, terutama setelah duo autis mulai bergabung, belum lagi Murasakibara yang datang datang membawa kue begitu banyak hingga mereka mempunya dua kue pernikahan. Bayangkan dua kue pernikahan.

"Haa..di sini sejuk,"

"Setelah menjauhi kumpulan idiot memang sangat melegakan."

Kuroko terkekeh, kemudian memukul pelan bahu suaminya, dan keduanya tertawa. Entah tertawa karena apa, bahagia, mungkin. Hingga Akashi membawa Kuroko dalam ciuman yang memabukkan. Cukup membuat keduanya terengah engah.

"Malam ini akan sangat panas, jadi kau harus bersiap, Tetsuya." goda Akashi

Kuroko menendang Akashi, menyembunyikan betapa malunya ia sekarang. Padahal tanpa dia sadari Akashi pun begitu berdebar, hebatnya dia bisa menyembunyikannya dengan menggoda Kuro-istrinya.

Hari harinya akan sangat bahagia mulai saat ini.

Setidaknya itu yang harusnya terjadi.
.
.
.
.
.

You left your flowers in the backseat of my carThe things we said and did have left permanent scarsObsessed depressed at the same timeI can't even walk in a straight lineI've been lying in the dark no sunshine
No sunshineNo sunshine

TBC


The Emperor's HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang