Chapter 29

1.2K 89 0
                                    

"Manner doesn't matter, young lady."

Jenna menatap dingin ketika Coleen melangkah mendekatinya sembari mengulurkan gelas mungil berisi cairan kopi yang masih tampak mengepulkan asap. Tangannya tetap bergeming, tidak menyambut tangan Coleen yang terjulur ke arahnya. Alih-alih mengambil gelas berisi kopi tersebut, dia justru menatap ke langit musim gugur yang mendung, bersikap seakan-akan Coleen tidak ada disana. Coleen tidak memberikan tanggapan apapun, selain hanya kernyitan dahi. Mengetahui sampai kapanpun kakaknya tidak akan mengambil gelas kopi dari tangannya, gadis berambut cokelat dengan semburat merah itu menyerah. Dia meletakkan gelas kopi di samping tempat Jenna terduduk, lantas mengikuti duduk di sebelahnya.

"Mengapa kau kemari?" tanya Jenna, melirik ke satu arah dan langsung menyesal pada detik berikutnya. Di kejauhan, Jason Bieber kembali menatapnya dengan pandangan penuh kebencian. Bisa dipastikan laki-laki itu akan kembali menerjangnya dengan penuh kemarahan kalau Sharon tidak ada disananya, menyipitkan mata mengawasinya. Kalau boleh jujur, Jenna takut pada Jason—lagipula, siapa yang memangnya tidak punya rasa takut pada pemuda itu? Tatapan dan tingkah lakunya begitu mengintimidasi, dan Jenna yakin, seandainya Coleen tidak muncul disana, sudah pasti dia akan berakhir tewas di dalam café. Tapi walaupun begitu, Jenna tahu bahwa dia tidak akan menyesal. Jika dia ditemukan tewas di dalam café, maka Jason selaku satu-satunya tertuduh akan digelandang masuk ke kantor polisi dan dikunci dalam penjara. Hal itu adalah hal yang selalu diidamkannya—meskipun keinginan terbesarnya adalah melihat Jason mati dalam penderitaan.

Yah. Bukankah dendam bisa membuat seseorang melakukan apapun?

Karenanya perasaan dendam adalah hal yang paling berbahaya di dunia ini. Satu rasa dendam, dan seorang malaikat pun bisa berubah menjadi iblis. Jenna sudah mengetahui konsekuensi apa yang akan terjadi padanya jika dia membiarkan dendam itu tetap ada dalam hatinya, namun faktanya dia tidak bisa melakukan apapun. Kenyataannya, semakin hari dendam itu tumbuh semakin besar, berakhir dengan tindakan ilegalnya yang memeras seorang professor kimia untuk memberikannya tetradotoksin bernilai ratusan ribu dolar itu, kalau sang professor tidak ingin skandal perselingkuhannya dimuat di surat kabar.

"Karena aku tahu aku harus kemari," Coleen mengernyit, melirik sekilas pada Harry yang memandang cemas padanya dari kejauhan. Gadis itu tersenyum pada pria bermata hijau cerah tersebut, meyakinkan kalau dia baik-baik saja—dan dia butuh waktu sendiri bersama kakak perempuannya.

"Penglihatan tolol itu," gumam Jenna dengan nada sarkastik. Ada ejekan membayang di kedua bola matanya yang kelabu, "Kapan kau akan jadi normal, Cole?"

"Jadi normal tidaklah penting," ujar Coleen, "Yang terpenting adalah bagaimana kau bisa jadi dirimu sendiri."

"Mengapa kau disini?" jari-jari Jenna memainkan permukaan kukunya yang disepuh kuteks, "Kenapa harus kemari? Kenapa kau tidak menghabiskan waktu bersama pangeran berkuda putihmu itu dan meneruskan pengkhianatan yang kau lakukan pada mendiang Mom dan Dad?"

"Jen," Nada suara Coleen berubah tegas, "Lupakanlah soal Mom dan Dad. Aku yakin mereka tidak ingin kau bersikap seperti ini. Hidup dalam baying-bayang masa lalu tanpa tahu bagaimana caranya berjalan ke depan."

"Mereka mati."

"Mereka memang sudah meninggal," Coleen membenarkan, "Namun tidak berarti kau harus melakukan hal semacam ini."

"Mereka mati karena orang-orang itu," Jenna menunduk, berusaha menyembunyikan aliran air mata yang membentuk garis lurus di kedua pipinya, "Karena Edward Styles dan Jason Bieber."

After The Darkness (sequel to Shopaholic) by Renita NozariaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang