Chapter 21

1.3K 90 0
                                    

"Because happiness is the most valuable thing in the world."

Coleen mengernyit ketika Harry berbelok di sebuah belokan trotoar, dan tidak mengatakan apapun padanya. Gadis itu mungkin tidak tahu dimana letak Cinnamon 182nd yang merupakan basis gangster Seattle, namun tentu saja dia tidak bodoh untuk menyadari kalau Harry tidak berniat membawanya kesana.

"Bukankah kita akan pergi ke tempat teman gangstermu itu, Harry?" tanya Coleen. Harry tidak menjawab. Laki-laki itu hanya menghembuskan napas perlahan, membuat asap tipis melayang di udara sementara angin pukul tiga dinihari yang berhembus pelan serasa membekukan wajahnya. Dia merapatkan mantel panjang yang dikenakannya, menatap sekilas pada Coleen dan bersyukur karena gadis itu melilitkan scarf tebal yang menghindarkan lehernya dari tiupan udara bulan September yang begitu dingin.

"Tentu saja aku tidak cukup gila untuk membawamu kesana, Cole." Ujar Harry, dan sedetik kemudian dia merasa bahwa hal-hal logis dan realistis dalam hidupnya telah menghilang tepat pada hari ini. Bagaimana tidak? Dia belum dua puluh empat jam mengenal Coleen, dan sekarang dia sudah bersikap layaknya seorang sahabat kepada teman perempuannya? Harry menghembuskan napas lagi. Baiklah. Dia bersikap begitu bukan karena dia tertarik pada Coleen, kan? Dia hanya merasa berterimakasih dan berhutang karena gadis itu telah menyelamatkan nyawanya hari ini, dua kali—ditambah lagi kenyataan kalau kematian kedua orang tua Coleen beberapa tahun lalu disebabkan oleh ayahnya.

"Kenapa?"

"Kenapa kau masih bertanya kenapa?" Harry berdecak. "Kau bisa melihat nasib buruk orang lain. Tidak bisakah kau menggunakan kemampuanmu untuk melihat nasibmu sendiri, hm? Mereka adalah gangster gila yang tidak akan segan-segan melakukan apapun untuk membuat mereka puas—ditambah lagi mereka tengah beringas karena kehilangan salah satu teman mereka malam ini."

Coleen tersenyum tipis. "Aku mungkin bisa melihat nasib buruk yang akan dialami orang lain, namun jelas sekali, aku tidak bisa melihat nasibku sendiri."

"Tentu saja—kau apa?!" Harry tersedak, menolehkan kepalanya dengan gusar pada Coleen yang justru terkekeh padanya. "apakah kau sungguh-sungguh?"

"Tentu saja aku sungguh-sungguh." Gadis itu menyahut dengan suaranya yang terdengar mirip celoteh bocah kecil. Matanya yang besar dan bening menatap pada Harry, membuat Harry berpikir bahwa Coleen adalah penjelmaan malaikat.

"Bagaimana mungkin?"

"Bukankah kemampuanku sendiri merupakan sesuatu yang tidak logis, Harry?" Coleen tersenyum. "Sekarang kau mau membawaku kemana?"

"Aku akan mengantarmu pulang, sebelum kakakmu mengamuk karena adiknya pergi hingga pukul tiga dinihari."

"Jen tidak akan marah." Coleen menyahut dengan suara lirih, mirip terdengar seperti suara desau angin di kejauhan. Apakah Harry salah atau memang dia menangkap rasa getir dalam suara Coleen?

"Jen? Kakakmu?"

"Jenna." Coleen mengangkat wajahnya, tersenyum meskipun binar di matanya mulai meredup. "Well, hubungan kami berdua tidak begitu baik. Sejak Mom dan Dad meninggal." Pada akhirnya Harry menyesal harus menanyakan hal itu. Ada sengatan perasaan bersalah di dadanya tiap kali dia mendengar Coleen berbicara tentang ayah dan ibunya. "Dia seorang wartawan, di tempat yang sama dengan Sharon. Dia kakak yang baik, namun dia berhenti peduli padaku setelah kedua orang tua kami meninggal. Kukira dia hanya tidak ingin orang lain tahu kalau dia begitu hancur. Dia menjalani hidup yang berat pada tahun pertama kematian kedua orang tua kami. Dan sekarang, tampaknya dia tenang-tenang saja membiarkanku pergi kemanapun sesuka yang kumau. Dia tahu tentang kemampuanku, dan dia pikir bahaya tidak akan mendatangiku karena aku punya radar yang sensitif—well, kau tahu apa maksudku, right?"

After The Darkness (sequel to Shopaholic) by Renita NozariaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang