[EDITED on 12-05-2020]
.
.
.
7 Agustus XX32
Gereja Setempat-Grandeus, Emithra
"Tidak ada yang harus dilakukan... ."
Suaranya terdengar seperti sebuah bisikan. Mengalun dengan samar di sela-sela dentingan lonceng gereja. Angin bertiup cukup keras sore ini. Maple yang tumbuh di pekarangan sudah menjadi merah karena musim gugur. Daun-daunnya beterbangan tertiup angin, jatuh seperti takdir yang sudah ditentukan untuknya.
Gadis itu berharap mereka lebih berguna, bukan hanya menjalani takdir dan jatuh ke tanah, karena kelak mereka hanyalah tumpukan sampah yang akan membusuk.
"Tidak ada yang bisa mengubah takdir."
Karena itu pula orang-orang menyerah dan mati. Karena manusia percaya takdir karena itulah mereka mati dengan mudah. Karena takdir keluarganya mati. Karena takdir dia sendirian.
"Orang yang menyerah karena takdir hanya akan menjadi sampah. Persis seperti--"
"--daun Maple yang berserakan di tanah?"
Suara seseorang terdengar dari balik lorong sempit yang temaram, ringan--seperti tertiup angin, melanjutkan kalimat itu yang kemudian diselingi dengan tawa geli.
Gadis itu diam-diam bergidik, menimbang separuh keinginannya yang pegecut untuk kabur tetapi niatnya urung ketika sebuah siluet muncul dari balik lonceng raksasa.
"Aku tidak percaya takdir."
Suara itu menampakkan wujudnya--seorang lelaki bertubuh tinggi dengan rambut hitam kecokelatan, bermanik senada. Dia tertawa kecil sambil memainkan tali-tali di tangannya.
"Mau berburu?"
❇
Hutan Erk-Grandeus, Emithra
Lelaki itu menyipitkan mata, mencoba menembus pepohonan yang menjulang untuk melihat sekelompok burung yang berlalu-lalang. Dia membidik di ketinggian lebih dari dua ratus meter dengan busur tua miliknya, panah biasa tidak akan melesat sejauh itu.
Karena jarak jangkau panah adalah hal mendasar yang diajarkan di sekolah--atau oleh orang tua kepada anak laki-laki mereka--wajar jika seseorang di-cap tolol karena membidik sasaran sejauh itu sementara tahu hasilnya nihil.
Hanya saja beberapa orang dalam sejarah tercatat berhasil melakukan penemuan-penemuan besar setelah melewati proses di-cap tolol--atau bahkan gila--sebab mereka terlampau jenius untuk mengenal kata menyerah.
Dan seperti orang gila dalam buku sejarah yang sebelum berhasil menyalakan bola kaca berisi lilitan tembaga di dalamnya, harus lebih dulu meledakkannya ribuan kali, seperti itulah si Pemburu baru saja mengetes keberuntungannya meskipun tahu dirinya dikutuk bernasib sial sejak lahir.
"Mereka jarang terbang rendah," kilahnya membela diri. "akan ajaib jika kau bisa mengenainya."
Dewi fortuna jelas-jelas membencinya.
Tentu saja gadis itu tahu lelaki ini bukanlah seorang pemanah yang baik--dalam tanda kutip--untuk ukuran manusia yang pantas menyandang predikat 'seorang-pemburu'. Dia diam-diam menyebutnya demikian hanya karena belum tahu pasti--atau katakanlah belum memastikan siapa nama pria yang sedang membuat lelucon soal perburuan ini.
"Berikan panahmu," ujar gadis itu pelan, suaranya agak parau.
Selama dua pekan terakhir, semenjak sidang pertamanya dimulai, Gadis itu menjadi lebih sering diam. Pasalnya dia tahu banyak bicara tidak akan mengubah apapun. Oleh karena itu, dia lebih memilih untuk bungkam begitu menginjakkan kaki di tanah Emithra. Tidak membuka mulut--bahkan jarang makan--kecuali untuk berteriak histeris kepada orang-orang yang memaksanya menceritakan kembali kebakaran malam itu, peristiwa yang membuatnya menjadi korban sekaligus tersangka utama dalam kasus pembakaran desa di bagian luar pegunungan Erthes. Rumahnya. Dan barangkali, jika bukan karena tidak sengaja mendengar gadis itu memaki takdir di gereja, si Pemburu juga sudah mengira bahwa dia bisu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Treaterra : Lack of Clarity
PoetryKemudian takdir mempertemukan segalanya. Api dan air. Kemampuan dan batasan. Kutukan dan doa. Dia dengan para Yumeko--orang-orang yang terikat tangannya. Tidak ada apapun yang tersisa, kecuali ketidak jelasan dan misteri tanpa batas. Persis seperti...