[ EDITED on 31-03-2020 ]
Zu menjulurkan tangannya menggengam kota Grandeus yang berpendar dalam campuran warna kuning dan putih. Gemerlap kota mengingatkannya pada serangga bersinar yang sering dipakai di Erthes—oleh warga desanya—sebagai lentera, bedanya cahaya di bawah sana terasa lebih dingin serta angkuh. Zu hanya ingin memberitahu dunia bahwa dia ada, meskipun tak seorangpun melihatnya maupun mempedulikannya.
"Aku hanya ingin hidup seperti biasa."
Zu menghela napas berat, uap hangat kembali keluar dari mulutnya. Sekarang ia berdiri di tepi bendungan, menghadap kota dengan titik cahaya yang saling memusat, membelakangi hutan dengan bayang-bayang kehitaman. Pisau di tangan gadis itu memancarkan cahaya lembut dari bulan. Begitu satu periode hembusan angin yang membawa bau hutan berakhir, cairan hangat kemerahan mengalir melalui pergelangan tangannya, menjalar menuruni lengan dan merembes mengotori baju putih kedodoran yang dia kenakan.
Pisaunya berdenting ketika membentur lantai bendungan yang dingin, merosot dari pegangan tangan Zu yang melonggar dan telah berlumuran darah.
"Aku... ingin menukar hidupku... dengan pembebasan... ."
Biarpun itu mustahil.
***
1.
Beberapa tahun setelah wilayah timur terbakar, perang antar benua berakhir. Anak-anak tanpa nama mulai berkeliaran seperti hama. Banyak diantara mereka yang tidak dapat berbicara. Anak-anak ini hidup berebut makanan bersama para binatang, mencuri dari rumah-rumah serta toko, bersembunyi di celah bangunan kota yang terlupakan dan tinggal di dalamnya.
Populasi mereka menyusut seiring berjalannya waktu. Situasi pasca perang memukul jatuh ketahanan pangan, tidak ada lagi yang bisa dicuri dari rumah-rumah warga. Para bangsawan menimbun persediaan makanan demi melawan musuh baru mereka: kebakaran berantai di sepanjang sisi tanah terkutuk yang terus meluas menelan tanah ladang mereka. Pada akhirnya, bocah-bocah itu mati; kelaparan, ada yang tewas setelah tertangkap mencuri dan dipukuli, beberapa bahkan menghilang secara misterius dari permukaan.
Tanah terkutuk merupakan reruntuhan sisa dari wilayah timur, daerah disekitar benua Timur yang terbakar habis beberapa tahun silam. Merupakan zona badai yang kelak dikenal dengan nama 'Papan Kematian' ketika ekspedisi mulai dijalankan. Di dalamnya kepingan ringan keabuan selalu beterbangan dari segala penjuru. Seperti musim putih yang selalu datang setelah daun-daun menjadi merah dan jatuh memenuhi jalanan, di tempat ini kepingan yg turun berwarna gelap. Pucat seperti warna langitnya. Butiran yang terus berjatuhan dan mengambang di udara itu berbau hangus dan menyesakkan: abu.
Di selasar teluk perbatasan Benua Barat, di daerah yang masih baru terbakar, ada sebatang bangkai pohon kering yang masih berdiri. Tepat di bawahnya seorang anak perempuan terbaring payah menghadap langit, napasnya berat. Dia akan melewati hari-hari terakhirnya dengan menghirup salju hitam dari tanah ini untuk tetap bernapas. Oleh sebab itu dia akan tetap hidup, setidaknya untuk beberapa hari mendatang, hingga kematian datang menjemputnya—bukan karena abu atau luka-luka yang dia dapat dari warga kota, melainkan karena keberadannya telah dilupakan. Setidaknya, begitulah anak itu meyakini bahwa bukan abu yang telah membunuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Treaterra : Lack of Clarity
PoetryKemudian takdir mempertemukan segalanya. Api dan air. Kemampuan dan batasan. Kutukan dan doa. Dia dengan para Yumeko--orang-orang yang terikat tangannya. Tidak ada apapun yang tersisa, kecuali ketidak jelasan dan misteri tanpa batas. Persis seperti...