Fragments

65 2 2
                                    

Lagi-lagi mereka terbangun di suatu tempat.

Beruntungnya, kali ini di kamar mereka. Kamar di bangunan tua itu.

"Tidak..."

Dengan sigap Asher menoleh ke sumber suara, Alice. Suaranya gemetar dan begitu pula badannya. Bayang-bayang darah itu masih berputar di kepalanya.

"Asher... A-Aku..."

"Ada apa, Alice?!"

"Te-ternyata akulah yang... membunuhnya..." Matanya mulai memerah, dadanya sesak dan kepalanya memanas. Air mata penyesalan mengalir deras membasahi pipinya.

Asher yang tadinya berjalan menghampirinya, kini langkahnya terhenti dan ia tertegun. Dalam hati ia mengutuk-ngutuk dirinya yang tak berguna. Ia menggigit bibirnya. Tapi ia tetap melanjutkan, duduk di sebelah Alice.

Ian kemudian datang menghampiri mereka berdua yang duduk di pinggir dipan, menempatkan diri di sebelah kiri Alice yang berada di tengah. Mereka berdua berusaha menenangkan Alice dengan menepuk-nepuk punggung dan membelai rambutnya yang terurai. Sayangnya hal itu tidak bekerja begitu baik, Alice masih mengingat kejadian yang kini jelas tergambar di pikirannya. Bagaimana ia membunuh Deca dengan tangannya sendiri.

Asher tidak tahan melihat Alice yang menangis. Ia ingin berkata namun kalimatnya tertahan di tenggorokannya. Ia masih memikirkan apa yang akan ia katakan pada Alice.

Setelah diam yang cukup panjang, akhirnya Asher mengeluarkan kalimatnya. "Alice, kau dengar Vio berkata kita dikontrol oleh ilmuwan itu. Ini semua tidak murni kesalahanmu."

Perkataannya diikuti anggukan Ian. Tetap saja, Alice masih menangis. Ian beranjak dari tempatnya dan berjalan ke meja kecil di sudut ruangan, mengambil segelas air untuk Alice. Menangis tentu menghabiskan cairan tubuh dan kerongkongan pasti terasa kering. Alice mengambil gelas itu dan meneguk isinya.

"Terima kasih, Ian."

Ian tersenyum. Ternyata air dapat meredakan isakan Alice.

"Aku menyadari sesuatu," ucap seseorang di belakang tempat tidur mereka. Ryan duduk di pinggir dipannya dan beralih menatap mereka bertiga.

"jika si ilmuwan memakai teknik hipnotis dalam mengontrol kita," ia menghela nafas panjang sambil menyusun kalimat yang mudah dipahami. Mereka bertiga masih menatap Ryan penasaran dan menunggu kalimat selanjutnya.

"Seperti ini, dalam hipnotis itu ada persetujuan secara sadar si objeknya. Jika si objek setuju, maka hipnotis itu akan bekerja. Apalagi jika si objek 'mudah percaya' pada orang lain. Intinya," tangannya membentuk tinju untuk menahan amarahnya, "kau punya keinginan untuk membunuhnya, Alice. Dan kau setuju akan hal itu."

Mata Alice melebar, tak percaya dengan apa yang dikatakan Ryan. Ryan kembali menatap jendela besar berembun, membelakangi mereka.

"Jangan buat situasi semakin sulit, Ryan! Kau tau kita ini semua dikontrol olehnya dan kau menyimpulkan Alice ingin membunuh Deca? Memangnya apa alasannya? Apa yang kau tau dari semua ini?!" Ian tak dapat lagi menahan emosi yang ia tahan sejak Ryan mulai berbicara. Sejak awal ia tahu akan ke mana arah penjelasannya.

"Mana aku tahu. Mungkin sesuatu terjadi di tempat tinggal kita sebelumnya. Kita ke sini juga dalam keadaan tidak sadar. Mungkin kita ingat keluarga kita, tapi tidak dengan apa yang telah terjadi."

Alice kembali menatap lantai. "Ini semua memang salahku." Bisiknya.

Ian menatap Ryan curiga. Berbagai spekulasi muncul begitu saja di kepala Ian. Ia ingin menanyakan banyak hal pada anak berkacamata itu, namun waktunya belum pas. Ian menyimpan segala pertanyaannya untuk nanti.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 05, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

X -A World Project-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang