Chocolate

310 14 0
                                    

Aroma lavender tercium lagi di suatu pagi, beberapa hari setelahnya.

“Ugh… jam berapa sekarang?” Katanya, sembari memijat-mijat tengkuknya.

Tak ada jawaban sama sekali, Ian menoleh ke kiri dan kanan. Mereka ternyata masih terlelap. Ian beranjak dan melemas-melaskan kakinya di tepi ranjang. Menghirup oksigen dalam-dalam. Seseorang menepuk pundaknya. Aroma lavender yang tak asing lagi.

“Vio?” Ian menoleh ke sumber bau, Vio menatap matanya tajam.

“Mau pergi?”

“Kemana la—“

“WAAAAA!!”

---------------------------------------------------------------------------------------

Terbangun dalam keadaan terduduk di sebuah penjara bawah tanah yang gelap, untungnya cahaya bulan yang melewati jeruji membuat penjara itu lumayan terang.

Deca terbangun, dan yang pertama kali tampak olehnya adalah seorang perempuan berambut coklat sebahu dan bermata yang senada dengan rambutnya. Ia menatap Deca lamat-lamat, kemudian ia tersenyum. Deca mengernyit.

“Si-siapa?” tanya Deca.

“Rika. Kau?”

“Deca.”

Rika tersenyum lagi.

“Ini tempat apa? Kenapa kita bisa di sini? Tempat ini terlalu gelap. Cahaya bulan hanya mampu menerangi sebagian ruangan.”

“Penjara bawah tanah, Deca. Kita diseret ke sini karena kita melakukan hal tercela.”

Deca menganga, “tercela maksudmu?”

“Raba saku kananmu, kau meletakkannya di sana.”

Dengan tergesa-gesa Deca meraba saku kanannya, sesuai perintah. Terdengar suara plastik saat Deca meremukkan benda yang dipegangnya. Deca mengeluarkannya perlahan. Kemudian Deca membuka plastik yang membungkus benda itu, sebuah coklat. Dalam logikanya, apakah karena cokelat ini ia dan Rika diseret ke penjara? Deca menatap Rika.

Rika sedikit terkekeh, “Maaf aku membawamu dalam masalah ini. Kau tadi berusaha menolongku mencurinya padahal kau tak tahu itu sebuah apa. Coklat itu sebenarnya sebuah racun dan kita mencurinya dari sebuah industri rumah tangga menengah yang memproduksinya. Kau pasti bingung mengapa mereka memproduksinya,” Deca mengangguk, “untuk membunuh istri walikota Alvia saat acara pertemuan antar walikota nanti dan kebetulan jatuh pada hari kasih sayang.”

Deca menelan ludah, dalam pikirannya ia bertanya-tanya, untuk apa mereka membunuh walikota Alvia. Dia dosa apa? Deca mengurungkan niat untuk bertanya, ia malas mendengarkan rentetan penjelasan yang sepertinya banyak sekali. Di sudut ruangan, Deca menatap cahaya bulan yang merambat lurus melalui sela-sela jeruji.

Ia tersentak. Kak Alice? Ian Asher? Dan ia menyadari hal apa yang harus ia tanya, tempat dan waktu. “Rika, sekarang kita dimana? Dan pukul berapa?”

“Penjara bawah tanah Derlburg. Mungkin ini tengah malam karena bulan purnama sudah tepat di atas.”

Tiba-tiba pintu besi penjara mereka digedor dan membuat mereka terkesiap. Deca memberanikan diri menghampiri pintu.

Dibalik jeruji terlihat sosok seseorang membawa 2 buah selimut. “Ini selimut kalian.” Ia lalu melempar selimut itu ke arah Deca secara kasar dan membuatnya terdorong ke belakang. Deca menghela nafas. “Terimakasih.” Katanya pelan.

“Ini selimutmu, Rika. Kurasa kita harus tidur. Selamat malam.” Ucapnya sembari memberikan selimut pada Rika, kemudian merebahkan tubuhnya di lantai yang dingin dan balik badan tak peduli. Mereka tidur di sisi ruangan, saling temu punggung.

X -A World Project-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang