Bloody Paint

457 15 0
                                    

Di sebuah ruangan remang-remang, berpelita lampu pijar.

Seorang lelaki terbangun dari tidur panjangnya.

Ia menoleh ke kiri, kemudian arah sebaliknya, tampak seseorang sedang sibuk dengan tabung-tabung reaksi dan kegiatannya menimbulkan dentingan akibat benturan tabung-tabung itu. Tabung berisi cairan berwarna-warni, tabung yang tersusun rapi di tatakannya. Bak penyihir yang sedang meramu.

Ia berdeham serak, suara yang tak asing lagi di telinganya.

"Apakah kau Kakek? Maksudku, ilmuwan?"

Ia merespon dengan diam.

"Apa yang terjadi? Kenapa aku di sini? Mana teman-temanku? Kau tak melakukan hal aneh, kan? Apa yang kau inginkan dari kami?"

"Pertanyaanmu terlalu banyak. Aku jadi malas menjawabnya. Pertanyaan yang lebih ingin kau tahu apa jawabannya."

"Apa maumu?"

"Aku hanya meminjam tubuh mereka untuk menguasai dunia."

"Bagaimana keadaan mereka?"

Kakek mendengus sebal, meletakkan tabung di genggamannya pada tatakan kemudian mengambil sebuah remote dan menekan salah satu tombol. Dari langit-langit yang terbuat dari batu bata itu berderik. 2 buah batu bata bergerak menjauh. Dari sana sebuah LCD TV muncul, ia mengernyit.

Alice sedang melingkari leher seorang perempuan dengan pedangnya, sampai baju perempuan itu bersimbah darah segar dari lehernya. Pemandangan yang mengerikan, membuatnya bergidik. Tapi, ada yang aneh.

Tentu, iris mata Alice, dan yang lain, kecuali Ryan. Seluruh kejadian pada Annabelle, ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Itulah yang ia saksikan dari layar.

Ia mengerang, tak terima dengan pemandangan ini. "Ada apa dengan mereka? Kau mengendalikannya?"

"Aku meletakkan chip di tempat dimana mereka takkan pernah bisa menemukannya."

"Sialan! Dimana mereka sekarang?!"

"Berkat alat pemindah dimensi, sekarang mereka di kamar. Berkat pil yang dikunyah Ryan, ia melupakan hal-hal yang terjadi. Berkat chip itu, mereka lupa apa yang mereka lakukan."

Ia bergegas akan keluar ruangan remang-remang ini. Tapi tali infus di punggung tangan kanannya, mencegatnya agar tak kabur.

"Lepaskan infus ini!"

"Tenanglah, Hillary. Mereka baik-baik saja jika menurut. Dan kau baik-baik saja jika menurut. Istirahatlah dengan tenang di ranjangmu."

Ia menggigit bibir, geram.

Maaf teman-teman, aku tak dapat menolong kalian.

Lelaki itu menangis dalam diam, sambil terbaring tenang di ranjang empuknya. Menutup mata dengan lengannya.

--------------------------------------

Deca membuka mata. Otot-otot tubuhnya terasa menegang dan sakit saat bergerak. Hal ini membuatnya tak dapat bangun, ia hanya bisa menggerakkan kepalanya - ke kiri dan kanan.

"Kak Alice..." ucapnya lirih, ketika menoleh ke kanan. Alice masih terpejam.

"Akhirnya sadar." ucap seseorang yang mengagetkannya, Asher. Deca tersenyum lemah, merespon ucapan Asher. Dan itu dapat dimakluminya.

"Masa pemulihannya memang agak lama. Ini efek samping melewati Pemindah Dimensi." lanjutnya, kemudian ia menyesap susu vanila panasnya. Deca mengalihkan pandangannya.

"Ill..? Hi..sa..?"

"Aku tak tahu mereka di mana. 2 hari yang lalu ketika aku terjaga, aku tak melihatnya dimanapun, bahkan di setiap ruangan di bangunan ini."

X -A World Project-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang