Chapter 1 a

3.1K 33 0
                                    

KRRIING... Krriingg...!

   “Haahh?!” Kesya Artyadevi, pemilik suara serak tadi, belum sadar sepenuhnya. Jiwanya masih sibuk berkelana di dunia mimpi.

   “Kesya, ini Cecil! Kamu udah bangun belum?!”

Tentu saya Kesya sudah bangun. Memangnya siapa yang mengangkat telepon kalau bukan Kesya? Lagi pula, diteriaki dengan suara kencang seperti itu, Kesya jadi sadar seratus persen dari tidur panjangnya.

   “Iya iya, Cil. Aku udah bangun. Ngapain sih pagi-pagi begini telepon? Aku masih capek nih!” protes Kesya, masih dengan suara serak. Dia baru tidur jam dua pagi karena harus menyelesaikan pesanan perhiasan dari seorang pelanggan.

   “Kesh, temani aku sarapan ya! Sekalian ada pengumuman penting yang mau aku kasih tau!” Cecilia Almira Saraswati, sahabat Kesya sejak TK, tidak memedulikan protes Kesya.

Dahi Kesya mengernyit bingung. Tumben Cecil semangat amat. Dia sendiri masih ingin meringkuk di dalam selimutnya. Kesya menghela napas. “Iya, tapi aku mandi dulu ya...”

   “Oke! Tapi nggak pake lama. Lima menit lagi aku akan jemput kamu!”

   “Iya.”

   Kesya meletakkan teleponnya. Dia bangun dari ranjang, menggeliat sebentar, lalu melepas baju tidur. Dia berjlana ke kamar mandi yang juga terletak di dalam kamarnya.

Setelah semuanya selesai, dia duduk di depan meja rias. Bersiap untuk mempercantik wajahnya.

Kriingg...

   Kesya menghela napas. Pasti si Cecil lagi. Heran juga sama gadis yang satu ini. Kesya sudah menjadi sahabat Cecil sejak mereka sama-sama duduk di bangku TK, tapi sampai sekarang, ketika mereka sama-sama telah menginjak usia 26 tahun, sifat nggak sabaran Cecil bukannya sembuh malah betah bermukim di pribadi gadis itu.

Kesya mengangkat telepon dan langsung menyambar, “Iya, Cil. Aku udah siapsiap

kok...”

   “Ehm, hhaa... llooo... Kesya...” Jantung Kesya berdetak dua kali lebih cepat daripada sebelumnya saat ia mendengar suara yang sama sekali berbeda dengan suara Cecil yang meledak-ledak.

Suara ini terdengar gugup, suara gugup yang disukai Kesya.

   “Ehm... Jansen... tumben telepon pagi-pagi. Ada apa?”

   “Oohh... ehm... nggak apa-apa sih. Cuma... cuma pengin denger suara kamu...,” sahut laki-laki gugup yang dipanggil Jansen itu. Walau cuma begitu, Kesya sudah senang banget.

   “Kamu... kamu lagi ngapain?” Jansen bertanya.

   “Lagi siap-siap. Cecil minta ditemenin sarapan.”

   “Ooh gitu...” Kesya terdiam. Kehabisan bahan pembicaraan.

   “Oh ya... foto kamu sudah jadi. Kapan kamu mau ambil?” Kesya tersenyum. Jansen seorang fotografer. Fotografer pribadi Kesya, tepatnya. Hehehe... Entah mengapa, kalau Jansen yang mengabadikan gambar Kesya, pasti jadinya akan bagus sekali. “Oh... yang waktu itu ya? Gimana? Bagus?”

   “Ya... ya pasti bagus lah. Kamu... Kamu kan ayu...” Suara Jansen terdengar berdeguk. Seperti suara seorang yang sedang menelan ludah.

   Kesya tersenyum kecil. Diam-diam menikmati kegugupan Jansen. “Oke deh. Nanti kalau keburu, pulang dari ketemu Cecil aku ambil deh.”

   “Oke kalau... kalau begitu. Udahan dulu deh... Sampai... sampai nanti ya...”

Ting tong...

The Bridesmaids StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang