Chapter 7

1.2K 28 4
                                    

MARCO menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda. Dia seorang perancang taman dan sekarang sedang merancang sebuah taman kota. Taman kota yang ramah lingkungan. Taman kota tempat berkumpulnya anak-anak, remaja, dan para orang tua. Marco menghentikan pekerjaannya dan menggerakkan lehernya yang terasa kaku. Direbahkannya kepalanya di sandaran kursi. Matanya tertumbuk pada kotak rokok di samping sketsanya. Disambarnya kotak rokok itu, lalu dia beranjak ke balkon apartemen.

Langit gelap sekali dan di kejauhan tampak satu bintang yang bersinar redup. Marco menyalakan sebatang rokok, mengisapnya dalam-dalam, lalu mengembuskannya. Dia memperhatikan bintang yang bersinar redup itu. Dampak dari polusi udara! Marco tertawa kecil. Sungguh ironis. Dia sedang mengisap sebatang rokok— yang menyebabkan polusi udara—sementara benaknya mengutuk polusi udara yang menyebabkan bintang-bintang tidak bersinar cerah lagi.

Marco kembali mengisap rokoknya dalam-dalam. Sebenarnya dia sudah lama ingin berhenti merokok, namun entah kenapa tidak juga dapat terlaksana. Ingat rokok, dia teringat Joanelle. Gadis yang luar biasa cantik, juga gadis yang luar biasa membuatnya patah hati. Karena kisah cinta yang kandas itulah, Marco mulai merokok. Sebenarnya dia tahu rokok tidak akan menghilangkan rasa gundah di hatinya. Rokok hanyalah pelarian sesaat. Tapi... memang sulit untuk berhenti dari kebiasaan buruk ini.

Marco lagi-lagi mengisap rokoknya. Entah dari mana datangnya, sosok wajah Kesya terbayang. Kemarin, saat dia ke balkon untuk merokok, kebetulan Kesya juga sedang berada di balkon apartemennya. Karena balkon mereka bersebelahan, Kesya dapat melihat Marco yang sedang mengembuskan asap mematikan dari mulutnya. Kesya mendelik marah.

“Egois!!!” begitu katanya. Marco berpaling dan mengernyit memandangnya.

“Kalian perokok adalah orang-orang egois! Selain merugikan diri sendiri, kalian juga

merugikan orang lain!” Marco hanya tersenyum dan berbalik masuk ke apartemennya.

Marco tersenyum sendiri mengingat percakapan singkat itu. Dia selalu merasakan sesuatu yang hangat dalam hatinya saat dekat dengan Kesya. Entah mengapa, gadis itu menghadirkan getar-getar aneh di relung hatinya. Walau sampai sekarang Kesya tidak menunjukkan sikap ramah terhadapnya, Marco tahu Kesya juga mengalami perasaan yang sama dengan dirinya. Dia yakin sekali bahwa dia dapat memenangkan Kesya dari Jansen. Marco menoleh ketika mendengar suara pintu balkon sebelah dibuka. Dia menjulurkan kepalanya. Melihat siapa yang keluar dari balkon sebelah. Kesya atau DeeDee?

Sosok Kesya keluar dengan mengenakan mantel kamar. Rambut panjangnya berkibar dipermainkan angin. Kesya merapatkan mantel kamarnya. Tampak berusaha menghalau dingin malam itu. Satu tangannya memegang gelas kesayangannya. Uap panas mengepul dari gelas itu.

“Halo...,” sapa Marco. Asap rokok mengembus dari mulutnya.

Kesya terkesiap. “Marco!” tegurnya. “Ngapain kamu? Bikin aku kaget aja!”

Marco tersenyum kecil. “Aku baru saja menyelesaikan pekerjaanku, lalu ke balkon...”

“Merokok lagi?” sindir Kesya. Tangannya menggerakkan sendok mengaduk isi gelasnya.

Marco mengangguk, tersenyum kecil melihat reaksi Kesya. “Nggak baik lho merokok terus. Cobalah untuk hidup sehat...” Suara Kesya terdengar berbeda. Sepertinya Marco menangkap getar perhatian pada nada suara itu. Benarkah?

“Iya deh... Aku janji, suatu saat nanti aku pasti berhenti.” Marco berbalik, ingin masuk ke apartemennya. “By the way...,” dia berbalik ke arah Kesya, “thanks ya buat perhatiannya.” Dia tersenyum lembut. Dada Kesya berdebar kencang. Apa maksud perkataan Marco tadi? Dan mengapa senyumnya begitu lembut?

Bodoh!

Mengapa juga dia memperlihatkan perhatian berlebih kepada laki-laki tukang tebar pesona itu?

The Bridesmaids StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang