Chapter 4 b

1K 17 1
                                    

Krriingggg!

Kesya meraih gagang telepon yang terletak tepat di sebelahnya. “Halo...”

“Ha... halo...” Suara Jansen!

Kesya mengecilkan volume televisi. Butuh usaha cukup keras untuk mendengarkan percakapan terpatah-patah Jansen. Biar begitu, Kesya sangat menikmatinya.

“Hai... Udah malem kok belum tidur?” Kesya melirik jam yang terpasang di dinding. Jarum pendeknya sudah menunjuk ke angka sepuluh.

“Ka... kamu sendiri kok belum tidur?”

“Aku?” Kesya memperhatikan sketsa perhiasan di pangkuannya. “Aku habis makan malam, tiba-tiba dapet ide, jadi buru-buru digambar. Kalau nggak, nanti keburu lupa.” Jansen tertawa kecil.

Praannggg...!

“Lho, suara apa tuh?” tanya Kesya terkejut.

“Ooh... itu... itu piring makanku pecah.” Ya ampun Jansen! Di telepon pun masih bisa gugup begitu!

Kesya tersenyum kecil. “Kamu juga baru selesai makan?”

“I... iya nih. Ba... baru aja se... selesai kerja.” Jansen tertawa lemah.

“Oh gitu...” Hening. Baik Kesya maupun Jansen tampaknya kesulitan menemukan topik

pembicaraan yang bagus.

Akhirnya Jansen yang pertama kali memecahkan keheningan di antara mereka. “Kesya... besok sore kamu ada kerjaan nggak?” Jansen terdengar berusaha mengatur napasnya.

Kesya berpikir sebentar. “Kayaknya nggak deh. Emangnya kenapa?”

“Besok aku disuruh motret di konser grup musik jazz La Rouge yang dari Prancis itu. Terus aku dapat tiket dua. Kamu mau ikut?” Wah... ada kemajuan. Jansen sudah berani mengajaknya nge-date!

Kesya tersenyum senang. “Boleh. Kamu mau jemput aku jam berapa?” “Aku... aku jemput kamu dari tempat kerja kamu jam lima aja, ya...”

“Oke... Sampai besok ya...”

“Hmm... I... iya. Good night, Kesya yang ayu...” Kesya meletakkan gagang telepon sambil tersenyum-senyum.

Kriingg! Telepon berbunyi lagi.

“Kesya...” Kali ini suara Marco yang terdengar.

Kesya tersentak. Dari mana Marco tahu nomor teleponnya? “Kok kamu tahu nomorku?”

“Nomor teleponmu, nomor ponselmu, alamat kantormu, alamat e-mail-mu, hobi kamu, makanan kesukaanmu, warna kesukaanmu. Pokoknya apa yang kamu suka dan kamu nggak suka, aku tahu semuanya.” Marco terdengar tertawa kecil. “Kamu pikir aku nggak akan menyelidiki dulu siapa pendampingku dalam acara

pernikahan Alo dan Cecil nanti?”

Menyelidiki? Apa maksudnya tuh? Memangnya aku ini psikopat yang harus diwaspadai? pikir Kesya meradang.

“Oke,” potong Kesya kesal. Dia tidak ingin berdebat lagi dengan Marco. “Jadi kamu mau apa sekarang?”

“Cuma mau tanya apa kamu sudah makan,” suara Marco melembut. Kesya tertegun. Menatap piring kosong di hadapannya yang belum sempat dibereskannya. Makanannya enak. Chinese food kesukaannya.

“Halo?”

“Udah,” Kesya buru-buru menjawab. “Aku udah makan. Thanks ya makanannya. Aku suka.”

Terdengar suara tawa Marco. “Besok sekitar jam lima, temani aku pergi ya,” pinta Marco.

“Nggak bisa!” Begitu seriusnya Kesya menolak ajakan Marco, kepalanya sampai ikut menggeleng. Padahal tentu saja Marco tidak dapat melihat apa yang dilakukannya.

The Bridesmaids StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang