Chapter 2

955 46 0
                                    

Setelah merapikan meja kerjanya Bonna beranjak pergi. Sambil menepuk-nepuk telpon genggamnya pada tangan kiri. Ia berjalan keluar ruangan. Menyusuri koridor demi koridor kantor yang memiliki desain seperti playground. Karena kantor ini dipenuhi dengan berbagai macam furniture yang menarik, dan extraordinary. Serta dilengkapi dengan beberapa permainan ataupun treatment agar para pekerja tidak merasa jenuh saat bekerja.

Tempat yang sudah ia anggap seperti rumah keduanya. Tempat yang kadang ia rutuki karena telah memberi banyak beban pekerjaan padanya. Tempat yang selalu berganti tema dekorasi setiap dua tahun sekali.

Bonna memperhatikan sekelilingnya. Kini di sisi kanan koridornya bukan lagi gambar mural dengan tema sosial. Kini berganti dengan mural karakter kartun animasi. Sedangkan sisi kirinya masih berdiri tiang-tiang besi sebagai sekat antara koridor dan tempat yang mereka sebut Kongkow Corner. Hanya saja furniture yang terdapat di Kongkow Corner-pun berganti menyesuaikan dengan tema di dinding.

Beberapa ruangan lampunya sudah dipadamkan. Ditinggalkan oleh para penghuninya yang mungkin sudah berada di rumah mereka yang nyaman ataupun di jalan. Terjebak kemacetan lalu lintas yang selalu terjadi setiap hari di ibukota tercinta ini. Jakarta.

Tetapi masih terdapat segelintir orang dalam ruangan tersebut. Beberapa mungkin sama seperti Bonna mendapat pekerjaan ekstra dari Atasan mereka. Beberapa juga mungkin sengaja ingin lembur untuk menambah pundi-pundi uang mereka. Demi memenuhi kebutuhan hidup yang semakin meningkat setiap hari.

Namun, beberapa juga memilih tinggal sebentar dalam ruangan tersebut untuk sekedar membuka jejaring sosial miliknya dan menyapa beberapa teman disana. Mencoba menghibur diri dari segala hiruk-pikuk kehidupan. Dengan menyaksikan beberapa video lucu dalam situs berbagi video-youtube untuk menghibur dirinya. Atau berselancar di internet untuk mencari info apa saja yang sedang happening saat ini.

Bonna memikirkan perkataan Shira di telpon tadi. Ia menimbang-nimbang, apakah ide Shira adalah ide yang tepat. Langkahnya terhenti tepat di ujung koridor yang disekat oleh tiang-tiang besi. Setelah berbagai macam kemungkinan berkelebat dalam otaknya. Dengan langkah gugup dan jantung yang mulai berdegup cepat. Ia memutuskan untuk berbalik arah menyusuri blok pertama dari koridor. Lalu berjalan menaiki tangga yang tersembunyi di antara dinding.

'semoga Pak Ari belum pulang...' batinnya.

Setelah sampai didepan ruangan Pak Ari-Atasannya. Bonna berhenti sejenak. Menyiapkan kata-kata dan mengukuhkan mentalnya untuk menghadapi Pak Ari. Si Bos yang sangat dingin. Selalu bisa membuat Karyawan mati kutu saat berbicara dengannya. Si Mister Perfeksionis. Yang telah membuat dirinya menderita beberapa bulan ini.

*tok! tok!*

Bonna mengetuk pintu di hadapannya. Sedetik kemudian ada suara dari balik pintu yang mempersilahkannya masuk. Dengan sangat hati-hati dan jantung yang semakin cepat memompa darahnya. Bonna mendorong pintu yang ada dihadapannya perlahan.

"Permisi pak.. maaf mengganggu.." tutur Bonna seraya berjalan menghampiri Atasannya yang sedang duduk bersandar di atas kursi dengan tangan yang sibuk mengetik sesuatu pada ponselnya.

Bonna menghela napas. Ia tidak mengerti, mengapa degupan di dadanya semakin cepat saat melihat sosok yang berada di hadapannya saat ini. Sosok yang terlihat sangat menawan dengan rambut yang sedikit berantakan. Tubuh yang dibalut dengan kemeja berwarna biru laut pas badan yang dapat menunjukkan otot-otot yang terdapat di lengannya. Dengan lengan kemeja yang digulung hingga siku.

Bonna sadar dengan pesona Atasannya yang sangat kharismatik dan berwibawa itu. Mereka juga hanya terpaut jarak empat tahun. Pak Ari yang masih muda dan tampan itu memang selalu menjadi bahan pembicaraan para wanita di kantor. Sikap dingin dan misteriusnya itulah yang semakin membuat para wanita penasaran.

Jantung Bonna berdegup tak menentu. Ia tidak bisa mengontrol pikirannya sendiri.

'duh, gimana nih?' batin Bonna. Menurutnya raut wajah Atasannya itu sedang tidak bagus. Tidak ingin diganggu. Seperti dirinya tadi. Ia juga tidak lupa untuk merutuki Shira dengan idenya dan segala kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Keputusan Bonna sudah bulat. Apapun yang akan terjadi-terjadilah.

"Ada apa?" tanya Pak Ari seraya meletakkan ponselnya ke atas meja.

  *deg!*  

Bonna mematung. Dalam ruangan yang dingin itu Bonna tak kuasa menahan perasaannya. Setitik demi setitik air seukuran biji wijen perlahan mulai mengalir di pelipisnya.Hati Bonna semakin tak menentu. Ia takut, gugup, dan juga ragu mengenai respon Atasannya itu apabila ia benar-benar mengatakan apa yang dikatakan oleh Shira .

"Oh ya, silahkan duduk" lanjut Pak Ari. Mempersilahkan Bonna untuk duduk di kursi yang berada tepat di hadapannya.

"Terima kasih pak.." ucap Bonna dengan suara yang sedikit parau, karena terlalu gugup menghadapi Atasannya. Rasanya sama seperti sedang melakukan ujian Negara tingkat SMA yang sangat-sangat menentukan masa depan.

"ada apa?" ulang pak Ari kepada Bonna dengan nada tak acuh.

'Hhhhmmmhhhh' Bonna menarik napas sedikit berusaha mengurangi perasaan gugupnya.

"Em-m begini Pak.." tutur Bonna agak sedikit ragu melanjutkan kata-katanya. Di saat itu juga pak Ari mengangkat kedua alisnya. Memberi isyarat agar Bonna melanjutkan kata-katanya.

"E-m-m.. begini Pak.. saya mau izin cuti beberapa hari untuk minggu depan.." Bonna memainkan jemarinya yang berada di bawah meja.

Bonna memberanikan diri menatap ke arah Atasannya itu. Melihat wajah dari Pak Ari yang tidak menunjukkan ekspresi apapun semakin membuat Bonna gugup.

'mati gue, mati gue, pasti pak Ari nggak akan setuju nih' batin Bonna yang terus menjerit sejak detik pertama ia mengetuk pintu ruang kerja Atasannya.

"Kamu lupa tadi sore saya kasih apa?" tandas Pak Ari padanya dengan air muka yang sangat dingin.

"I-ingat pak.." jawab Bonna tergagap.

"Kamu sudah tahu kan jawaban saya?" ucap atasannya itu dengan nada suara yang maskulin.

"Te-tapi Pak..." pada detik itu juga Bonna menarik nafas mengumpulkan energi untuk menyanggah Atasannya itu. Demi mendapatkan hak asasi manusia sebagai pekerja.

"Saya sudah stress dan juga sedikit depresi Pak..." lanjut Bonna

"Setelah mengerjakan proyek beberapa bulan ini. Saya butuh liburan Pak! Butuh me-refresh otak saya kembali, sebelum memulai proyek baru ini.." sergah Bonna tidak memberikan kesempatan pada Atasannya untuk memotong.

"Tapi kamu sudah menyetujui proyek ini!" tandas Pak Ari tak mau kalah.

"Saya tidak mengatakan apapun pak. Saya hanya mengikuti apa yang Bapak instruksikan kepada Saya. Bapak juga tidak bertanya kepada saya apakah saya setuju atau tidak bergabung dalam proyek ini" balas Bonna membela dirinya.

"Jujur Pak. Saya sangat butuh liburan. Bapak juga udah janji sama saya kalau setelah proyek ini selesai Bapak akan memberikan saya waktu untuk menyegarkan pikiran saya kembali" lanjut Bonna dengen keteguhan hatinya.

"dan sekarang saya sudah berhasil menyelesaikan proyek ini.  Tapi apa Pak? Bapak malah memberikan saya proyek lain. Bukan liburan!" seru Bonna dengan nada yang sedikit tegas.

Bonna sangat kecewa kepada Atasannya itu. Seakan-akan janji untuk liburan itu hanya untuk menjadi penyemangat yang diberikan untuknya agar lebih giat lagi bekerja.

Perfect StrangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang