Braaak!
"Kale..."
Aku mendengar suara Damian didalam mimpiku. Oh bukan, ini kenyataan. Dan laki-laki yang telah kutunggu-tunggu sejak tadi akhirnya muncul. Dia berhasil memecahkan jendela kaca yang ada di kamarku.
Aku sudah terkulai lemas di atas lantai. Sulit rasanya untuk kembali tegak, apalagi mengeluarkan suara yang sekarang sudah hilang ditelan rasa sesak. Pandanganku meremang, samar-samar kulihat Damian lompat dari jendela kaca yang baru saja ia pecahkan tadi, kemudian menggotong tubuhku.
"Kale, kau tidak apa-apa?" suara kecemasannya pun masih bisa kudengar dengan jelas. Aku hanya mengangguk lemah sambil melengkungkan senyuman sebisaku.
"Tuan, ayo keluar dari rumah ini sekarang. Sebelum apinya menyebar luas," Aidan berteriak dari luar.
Tanganku langsung melingkar dileher Damian, ketika ia membawaku dalam gendongannya dan berusaha keluar dari jendela. Aidan sudah menantikan tubuhku dari luar dan ikut membantu kami sampai kami berhasil melewati kekacauan ini.
Beberapa mobil bersirine mulai datang ketika Damian sudah berhasil membawaku kedalam mobil. Ia memberiku sebuah alat bantu untuk bernafas.
"Kale, maafkan aku karena telat menjemputmu..." jarinya mengusap wajahku perlaha-lahan. Kalimat itulah yang terakhir kali ku dengar sebelum kepalaku mendadak dilanda pusing, dan pandanganku berubah jadi gelap total.
***
Kepalaku berdenyut ngeri, badanku terasa sakit-sakitan, tanganku berubah menjadi begitu hangat. Aku berusaha mengangkat kelopak mataku lebar-lebar, meskipun penuh perjuangan akhirnya aku bisa mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Kurasakan hangat ditanganku ketika seseorang menggenggam tanganku begitu erat. Betapa terkejutnya aku melihat kehadiran Damian disekitarku. Pria itu duduk disebelahku, menundukkan kepala di atas kasur yang ku tiduri sembari menggenggam erat tanganku.
"Kale, kau sudah sadar?" Damian terbangun saat merasakan pegerakanku.
Aku hanya mampu mengangguk, menatap ke sekeliling ruangan dan tersadar kalau aku sedang berada di dalam kamar apartemennya Damian.
"Kau butuh minum?" aku mengangguk lagi. Secepat kilat dia langsung melepaskan tanganku, kemudian mengambil gelas air di atas nakas, membantuku untuk duduk dan meneguk airnya perlahan demi perlahan.
"Kau mau makan?" tanyanya dengan raut wajah cemas. Aku bisa melihat wajah kusut dan rambut berantakan dari Damian.
Aku menggeleng pelan, tidak punya selera untuk mengunyah sesuatu.
Damian menghela nafas gusar, sebelum kembali menggenggam telapak tanganku kemudian menicumnya ke bibir, "Syukurlah kau selamat. Aku begitu mengkhawatirkan mu...," ucapnya membuatku sedikit tertegun.
Dia mengkhawatirkanku? Aku tak percaya.
"Kenapa rumahmu bisa kebakaran seperti itu Kale?" disaat Damian terus banyak bertanya, aku hanya bisa diam sambil mengangkat bahu.
Kemudian pandanganku beralih pada jemarinya yang terluka.
"Kenapa jarimu?" aku menyentuh jarinya, membelai luka mengerikannya yang cukup besar.
Ia hanya menyengir hambar, "Hanya luka kecil."
"Aku tahu luka kecil, tapi penyebabnya apa... Damian?" suaraku berubah jadi kepanikan. Entah mengapa hatiku begitu menggebu-gebu dan rasa cemas menjalar disekujur tubuhku. Padahal itu hanya luka.
"Mm," Damian berdehem sembari memutar bola matanya. Seolah-olah sedang mempermainkan rasa cemasku. Ia terus tersenyum misterius yang membuatku semakin panik.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE APARTMENT (Slow update)
Misterio / Suspenso"Ketakutan, pertemuan, harapan, cinta. Semua berawal dari apartemen" Insiden yang terjadi di ruang Apartemen nomor 1100 lantai 25, telah mempertemukan aku dengan sosok pria yang memiliki tatapan mata setajam elang. [ Don't be silent readers, Jangan...