Meaningless (Wendy's pov); chp2

503 52 4
                                    

Aku merasa manusia yang paling berdosa saat ini.

Bagaimana tidak? Tiga hari setelah insiden pembunuhan Yeri aku malah diam dan bukannya melapor pada polisi. Padahal pelakunya sudah didepan mata.

Setelah aku berhasil-merayap-konyol-dari-pinggir-kepinggir akhirnya aku hanya bisa menangis dalam diam, mana Joshua bilang kalu takdir yang mempertemukan kita. Cih! Yang ada aku yang ketiban sial bukannya dia. Aku langsung saja berlari pulang ke apartemenku dan mengabaikan Joshua. Aku berpikir sebentar lagi aku akan ditangkap polisi namun ternyata sampai detik ini polisi tidak menangkapku, bahkan Joshua masih setia mejeng dengan gengnya, berarti mereka tidak menemukan bukti yang mengarah pada Joshua atau diriku, kan?

Kalau tidak salah aku mendengar dari tetangga kalau polisi tidak menemukan barang bukti sedikitpun, semuanya bersih seakan Yeri yang membunuh dirinya sendiri. Aku heran, Joshua itu sebenarnya mahkluk apa sampai tidak dapat dilacak keberadaanya. Kalau aku lapor tanpa barang bukti malah bisa diputarbalik. Makanya aku hanya diam sampai saat ini dan berusaha menghindar dari Joshua.

Para tetangga mengucapkan turut berduka cita kepadaku karena mereka tau kami cukup dekat, ibunya Chan juga sepertinya sangat sedih karena aku dan Yeri pernah numpang makan di apartemennya Chan. Aku mengurung diri dikamarku dan tidak masuk sekolah satu hari, aku belum siap untuk keluar apalagi untuk berpapasan dengan Joshua, lebih baik aku tidak masuk sekolah terus-terusan saja. Tapi, mau tidak mau aku harus ke sekolah, kasihan Dambi-eonie yang bekerja keras di Jepang sana.

Dan sekarang, aku tengah frustasi dengan tugas kelompok matematika yang diberikan oleh Leeteuk-saem.

Aku mengetuk-ngetukkan pensil ke dahiku, aku menyernyit bingung meratapi soal matematika yang sudah tiga kali aku hitung tapi hasilnya tidak ketemu juga. Rasanya aku pengen gantung diri saking frustasinya.

" Wendy, udah ketemu jawabannya?" seorang namja berambut coklat tua melongokkan kepalanya dari balik bahuku, mencoba melihat hasil kerjaku yang tak berujung.

"Astaga, Junhui! Jangan seenaknya nongol gitu." Aku menghela nafas putus asa. "Belum. Sama sekali tidak membuahkan hasil. Bagaimana denganmu?"

Junhui duduk di bangku sebelahku, lebih tepatnya bangku Irene. Sekarang kami tengah mengerjakan tugas kelompok matematika, Irene tidak sekelompok denganku jadi dia berada diujung kelas bersama kelompoknya. Dan yang mebuatku kaget, aku baru sadar kalau ada sekitar tiga anggota Seventeen yang sekelas denganku, sungguh aku baru sadar saat pembagian kelompok tadi. 

Yang disebelahku sekarang ini anak Seventeen, namanya Wen Junhui. Mungkin aku perempuan paling  kuno disekolah ini karena tidak mengetahui apa-apa tentang Seventen. Setauku teman-temannya memanggilnya Jun saja tapi menurutku itu aneh dan aku memanggilnya Junhui. Junhui lumayan baik dan pintar setelah aku mengobrol dengan dia cukup lama. 

Seharusnya aku jaga jarak dengan anggota Seventeen karena mereka ada senyawa-senyawa Joshuanya, bagaimana kalau mereka juga seorang pembunuh seperti Joshua? Atau mereka tidak tau apa-apa? Atau mereka sudah tau semuanya dan sekarang tengah memata-matai dan mengawasiku? Sepertinya aku jadi parno tapi menurutku Junhui tidak terlihat psikopat, kuharap saja begitu.

"Sudah." Junhui menjawab singkat lalu mengambil kertas soalku. "Ini sih mudah."

"Kamu belum pernah ngunyah penghapus kan?"

"Eh iya iya, maaf." Junhui terkekeh geli. "Kamu salah ngitungnya, sejak kapan 1.200 dikali 78 itu 5600?"

Eh? Aku menelengkan kepala bingung. Aku udah ngitung benar malah disalahin.

"Hasilnya 93.600, coba hitung pelan-pelan."

Aku menghitung ulang lagi dengan gaya-gaya slow motion, saking kesalnya. Junhui nyaris menyemburkan tawanya melihat ekspresiku yang depresi. 

Death the kidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang