Tiga

6.2K 304 3
                                    

Papa Zia begitu murka saat kami mengaku kalau Zia kini tengah mengandung anakku. Zia dimarahi habis-habisan. Aku pun sempat kena bogem mentah dari papanya. Kami diam saja tak berani melawan, namun kulihat Zia menangis sesal saat melihatku dipukuli papanya.

"Saya kemari untuk bertanggung jawab, Om. Saya akan menikahi Zia." ujarku di sela pukulan papanya yang semakin membabi buta.

Tiba-tiba Papa Zia memegang dadanya dan kesakitan. Aku dan Zia sama-sama terkejut.

"Papa... Ren, jantung Papa kumat!" seru Zia.

Aku kaget. Sungguh aku tak tahu kalau papanya punya riwayat penyakit jantung. Kalau tahu, mungkin aku takkan bertindak segegabah ini.

Kami langsung membawa papa Zia ke rumah sakit. Zia menangis di pelukanku. Dia sungguh merasa berdosa pada papanya. Tak lama dokter keluar dan mengatakan kalau papa Zia ingin bertemu kami berdua.

Zia mencium tangan papanya sambil menangis. Papa Zia menatap ke arahku. Aku yang semula hanya berdiri di samping pintu, kemudian mendekat. Sepertinya beliau ingin bicara padaku. Aku menundukkan tubuhku lebih mendekat.

"Jaga, Zia.. Jaga cucuku.."

Aku menatap Zia yang semakin terisak. Saat itu juga aku tahu apa yang harus kulakukan.

"Zia, kita menikah sekarang. Di hadapan Papamu."

Zia terkejut. Aku hanya mengangguk meyakinkannya.

Saat itu juga, aku mempersiapkan semuanya sementara Zia menunggui papanya di rumah sakit. Kucari penghulu, kuhubungi seorang teman lelakiku dan juga asisten papa Zia di restoran milik beliau untuk menjadi saksi. Kusiapkan pula baju panjang dan kerudung untuk Zia. Akhirnya pernikahan sederhana itu bisa terlaksana dengan papa Zia sebagai wali nikahnya. Dan setelah itu... tangis Zia pun tak tertahankan lagi melihat orang yang disayanginya pergi untuk selamanya.

>>

Sepeninggal papa Zia, kami berdua tinggal di rumah Zia. Aku mengejar target skripsiku yang tinggal sedikit lagi sementara Zia meneruskan usaha restoran papanya. Zia tak mau kembali kuliah, dia terlanjur malu dengan keadaannya. Perut Zia makin lama makin membuncit, dan entahlah aku sangat suka melihat perut buncitnya. Ingin rasanya aku membelainya, namun aku tak pernah berani melakukannya kalau Zia tak memintaku memegang perutnya.

Aku sama sekali tak berani menyentuh Zia. Namun setiap tengah malam kusempatkan diri menegok ke kamarnya untuk melihat keadaannya, mengingat pada awal-awal kehamilannya dia sering terjaga tiap tengah malam. Kami memang tidur terpisah. Zia di kamarnya sendiri, dan aku tidur di kamar tamu depan. Namun aku bahagia selama ini bisa menjaganya. Siapa sangka gadis yang kuimpikan kini telah menjadi istriku, walau aku tahu pernikahan ini bukan menjadi keinginannya.

Andai kamu tahu, Zia...semakin lama semakin rasa ini tumbuh untukmu.

>>

CINTAKU UNTUKMU, ZIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang