Enam

6K 292 0
                                    

"Zia, kamu nggak apa-apa?" tanyaku saat sampai di rumah sakit. Tadi Zia menghubungiku kalau dia keserempet mobil setelah pulang belanja.

Zia mengangguk. Namun aku melihat wajahnya yang mendung. Zia menarik Rizki dari gendonganku dan langsung memeluknya.

"Zia, kamu kenapa?" tanyaku bingung.

"Zi..."

Kudengar sebuah suara berat memanggil. Aku menoleh ke belakang. Tiba-tiba kurasakan ratusan pisau menghujamku. Wajahku mengeras seketika. Dia pun tampak terkejut melihatku.

"Rendi?" matanya kembali menatap Zia. "Tadi aku yang bawa Zia kemari. Kalian berdua sudah menikah?" tanyanya menyelidik.

"Ya, Hans. Kami sudah menikah tiga tahun." sahutku.

"Apa??"

Hans begitu terkejut. Dia kembali menatap Zia. Tiba-tiba dia mendekati Zia dan menatap Rizki. Hans mendadak mundur.

"Berapa usia anak ini?" tanyanya.

Aku dan Zia sama-sama terkejut. Mungkinkah Hans menyadari sesuatu?

"Dia bukan anakmu kan?" Hans menatapku tajam.

"Dia anakku. Buah cintaku dengan Zia." jawabku berusaha tenang.

"Berapa usia anakmu, Zia?"

"Dua tahun." jawab Zia cepat. Kulihat Zia berusaha menutupi kegugupannya.

"Dan kenapa mata anak kalian bisa mirip mataku?!" Hans memandang kami bergantian.

"Ren, ayo kita pulang." ujar Zia.

Hans menghadang kami.

"Ok! Kita bicara berdua." tegasku. Kuminta Zia ke mobil duluan sementara aku dan Hans bicara.

"Jadi dia memang anakku kan?" Hans membuka kata.

"Kamu ninggalin Zia, Hans. Kamu nggak tau betapa menderitanya dia menghadapi semua sendiri." kataku datar.

"Kamu salah kalau menganggapku Hans yang dulu. Zia berbeda. Aku sama sekali nggak berniat mempermainkannya. Ayahku sekarat. Mau tak mau aku harus menyusul orang tuaku."

"Itu pembelaanmu?"

Hans menggeleng. "Aku nggak berani berpamitan sama Zia. Segalanya begitu cepat terjadi. Ayahku meninggal dan aku harus mengurusi bisnisnya. Aku tak bisa memikirkan hal lain. Sumpah, Ren! Aku nggak berpikir jauh kalau Zia ternyata hamil akibat perbuatanku."

"Simpan saja sumpahmu! Jangan ganggu keluargaku!"

Jujur saja aku sangat takut kalau kehadiran Hans akan mengusik Zia dan Rizki.

"Aku masih mencintainya, Ren."

Aku mendadak geram mendengar kata-kata itu.

"Dan aku ingin ketemu anakku."

"Jangan pernah katakan dia anakmu!" seruku.

"Hei, dia darah dagingku!" Hans tak mau kalah.

"Terserah! Tapi selama ini akulah ayahnya."

"Zia mungkin memang telah jadi milikmu, tapi anaknya sama sekali bukan milikmu. Kamu pikir aku nggak tau saat kuliah dulu kamu sudah menyukainya kan? Jadi sekarang kamu ketakutan aku muncul dan mungkin saja bisa mengambil apa yang seharusnya menjadi hakku."

Tanganku terkepal. Namun aku masih berusaha menahan diri untuk tak membungkam mulut lelaki di hadapanku ini.

"Kuperingatkan sekali lagi, Hans. Jangan ganggu keluargaku!"

"Kita pakai cara masing-masing. Dan kamu nggak berhak melarangku!"

Aku tak menanggapinya lagi. Aku langsung meninggalkan lelaki itu dan menuju mobil. Zia pasti gelisah menungguku.

"Ren, kamu baik-baik aja?" tanya Zia panik saat melihat wajahku yang menahan amarah.

"Ren..." Zia mengelus lenganku.

Kulirik Rizki yang tidur di pangkuan Zia.

"Zi, apa kamu bahagia hidup bersamaku?" tanyaku lirih.

"Kenapa kamu tanyakan itu, Ren? Apa yang Hans bilang sama kamu?" Zia mengguncang lenganku.

Aku pun menceritakan pembicaraan Hans denganku. Tidak semuanya. Hanya alasan Hans menghilang saat itu dan keinginannya untuk bertemu Rizki.

"Kamu sudah tau kan? Jadi mungkin kini kamu nggak sepenuhnya menyalahkan dia lagi."

Kulihat Zia terdiam. Entahlah. Mungkin dia bimbang.

"Jujurlah, Zia.. Kamu masih menyimpan perasaan padanya?"

Zia hanya mendongak menatapku kemudian mengelus rambut Rizki. Aku menanyakan pertanyaan bodoh yang mungkin sudah kuketahui jawabannya. Hans cinta pertama Zia. Dan darah lelaki itu mengalir dalam tubuh bocah kecil di pangkuan Zia. Mana mungkin perasaan cintanya bisa lenyap semudah membalikkan telapak tangan? Atau mungkinkah kini aku harus bersiap menerima kekalahanku yang mungkin takkan pernah bisa memiliki hati Zia sekalipun raganya bersamaku?

>>

CINTAKU UNTUKMU, ZIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang