Lima

5.8K 309 0
                                    

Tanpa terasa tiga tahun sudah aku hidup bersama Zia. Hidup kami semakin mapan. Karirku makin merangkak, dan bisnis restoran yang dikelola Zia pun berkembang. Rizki tumbuh menjadi anak yang sehat dan lincah. Wajahnya begitu mirip Zia. Namun aku tak bisa memungkiri ketika melihat mata Rizki, aku bagaikan melihat mata Hans yang begitu hidup. Rizki memiliki mata ayah kandungnya. Entahlah apa Zia merasakan hal yang sama denganku. Tapi aku berusaha untuk tidak mengubah apapun. Rizki adalah anak kami. Dan aku menyayanginya seperti menyayangi ibunya.

"Kiki makan sama Mama yuk. Biar Papa mandi dulu." Zia membujuk Rizki yang sedari aku pulang kerja tadi bergelayut di lenganku.

"Papaa..." serunya semakin memeluk lenganku. Aku sendiri tak mengerti kenapa anak itu dekat sekali denganku.

"Ki.. Papa mandi dulu ya, bau asem nih.. Coba Kiki cium kalau nggak percaya." bujukku.

Rizki mengendus bajuku lalu menutup hidungnya.

"Mamaa.." serunya berlari kecil ke arah Zia.

"Heran deh, selalu nurut kalau sama kamu." komentar Zia.

Aku hanya tertawa kecil lalu menuju kamar. Sejak Rizki berusia satu tahun, aku benar-benar telah hijrah sekamar dengan Zia. Awalnya karena Rizki selalu rewel kalau aku tak menidurkannya, dan akhirnya Zia memintaku untuk pindah ke kamarnya saja. Tapi bukan berarti itu menjadikanku suami seutuhnya. Aku tetap saja tak pernah menyentuh Zia. Paling berani hanya cium pipi atau cium kening saja. Mungkin aku memang bodoh, selama tiga tahun hidup bersama, tak kubiarkan Zia tahu sedikitpun perasaanku padanya yang sebenarnya. Tapi aku tetap bahagia. Hidupku kini terasa lengkap. Dan kurasa Zia pun bahagia hidup bersamaku, bersama sahabatnya. Zia lebih sering menggunakan kata sahabat daripada suami untuk menyebutku.

>>

CINTAKU UNTUKMU, ZIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang