Tujuh

6.1K 302 1
                                    

Hans membuktikan ucapannya. Tiba-tiba saja dia telah muncul di rumah kami. Entah kenapa aku merasa tak punya hak menghalanginya karena Zia justru diam saja dengan kehadiran Hans.

Zia memang terlihat berat hati saat Hans meminta menggendong Rizki, namun dia tetap mengijinkan. Tahukah dirimu, Zi? Aku sebenarnya tak rela melihat Rizki dalam pelukan Hans, namun aku tak bisa berbuat apa-apa.

"Papaa.. Papaa....."

Tiba-tiba kudengar seruan Rizki disusul kemudian isaknya. Aku menghampiri mereka, namun aku sendiri tak enak mengambil Rizki dari Hans walau kulihat bocah itu meronta dan mengacungkan kedua tangannya padaku.

Hans tampak tak senang melihatku. Namun Zia segera meraih Rizki dari Hans dan memberikannya padaku. Aku langsung mengelus rambut Rizki dan isaknya perlahan berhenti. Kurasakan tangan mungilnya begitu erat memeluk leherku.

"Kuharap kamu bisa memberiku kesempatan untuk mengenal darah dagingku." Hans menatapku tajam sebelum pergi.

Zia memandangku penuh sesal.

"Maaf, Ren.. aku nggak mungkin melarang Hans. Bagaimanapun Rizki adalah...."

"Ya, aku tau." potongku.

Aku tahu Hans adalah ayah kandung anakmu, Zia. Tapi tahukah kau siapa aku bagi anakmu?

>>

Hans semakin sering menemui Zia dan Rizki. Entah apa sebenarnya maksud lelaki itu. Benarkah hanya sekedar membagi kasih sayang pada darah dagingnya? Atau juga untuk mendekati Zia?

"Ren, Hans udah minta maaf." kata Zia suatu malam setelah menidurkan Rizki.

Tanpa Zia bicara lebih lanjut aku sudah tahu kalau dia pasti memaafkan lelaki itu.

"Dia masih mencintaimu." ucapku menahan ketidakrelaan dalam hati.

"Dia juga sudah bilang."

"Dan kamu?" pancingku.

Zia menatapku. "Kamu takut aku balik sama dia?"

Pertanyaan itu sebenarnya mudah bagiku, namun suaraku jelas takkan mampu keluar untuk menjawabnya.

Zia meraih tanganku.

"Setelah apa yang kita lalui bersama, kamu pikir aku akan meninggalkanmu? Setelah semua pengorbanan yang kamu lakukan, apa bisa semudah itu aku pergi darimu?"

Jantungku terasa berdarah. Jadi ini karena balas budi? Apakah hanya itu arti kebersamaan kita bagimu, Zia?

"Aku takkan menghalangi apa yang menjadi kebahagiaanmu." ucapku datar.

"Rizki adalah kebahagiaanku. Dan aku bisa lihat bahagianya Rizki saat memanggilmu Papa."

Aku tau Rizki bahagia denganku, Zia.. tapi apakah kau begitu? Bisikku dalam hati.

"Kamu tau kan Hans nggak akan nyerah?" tanyaku.

"Aku nggak tau apa Hans tega merenggut kebahagiaan darah dagingnya sendiri.." ujarnya lirih.

Aku memeluk bahu Zia.

"Sekalipun tetap bersamaku, suatu saat nanti Rizki pasti akan tau kalau aku bukan ayah kandungnya."

Zia mendongakkan wajahnya untuk menatapku. Matanya yang bening begitu sayu penuh kegusaran. Zia, aku begitu takut kehilanganmu dan juga Rizki..

Entah keberanian dari mana tanpa sadar aku telah menyentuh bibir tipisnya. Menyesap kelembutannya.

"Ren..?"

"Maaf... Maafkan aku, Zi.. aku khilaf.." kataku segera bangkit dari ranjang.

"Emm.. Rizki udah tidur. Aku mau lanjutin kerjaan kantor lagi. Kamu tidur duluan aja." Aku berusaha menutupi kegugupanku.

>>

CINTAKU UNTUKMU, ZIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang