Empat

6.2K 310 0
                                    

"Rendi...!"

Teriakan Zia mengejutkan aku yang tengah belajar untuk menghadapi sidang skripsiku besok pagi. Aku langsung bangkit dan berlari ke kamarnya.

"Kenapa, Zi?" tanyaku panik saat kulihat Zia meringis kesakitan sambil memegang perutnya.

"Ren, perutku sakit banget.. Aduh! Mungkin aku mau lahiran.."

"Apa??" aku semakin panik. Wajahku memucat karena bingung.

"Ren.. Jangan panik.. Kita ke rumah sakit.." ujar Zia.

"Oh iya!"

Aku langsung tergopoh-gopoh menyiapkan keperluan Zia. Dia langsung kupapah menuju mobilnya. Sepanjang jalan aku panik sehingga Zia berusaha menenangkanku sambil meringis menahan sakit di perutnya.

"Jangan ngebut, Ren.. Gelap.." Zia berulang kali mengingatkanku.

Aku langsung berteriak memanggil dokter saat sampai di rumah sakit. Zia pun langsung ditangani. Seorang perawat setengah baya mencoba menenangkanku.

"Anak pertama ya, Pak? Jangan panik begitu. Harus kuat karena sewaktu-waktu istri Anda akan membutuhkan Anda."

Aku hanya mengangguk saja tanpa bisa meredam gejolak di hatiku.

"Bapak Rendi? Istri Anda ingin bicara."

Aku langsung menerjang masuk ke ruang bersalin. Kulihat Zia tersenyum. Langsung kugenggam tangannya.

"Ren, kamu pulang aja. Besok kan kamu sidang skripsi pagi."

Aku menggeleng. Mana mungkin aku meninggalkannya?

"Aku nggak bisa ninggalin kamu, Zi. Sidangnya bisa diundur lain hari."

"Rendi, dengar! Aku mau kamu lulus, Ren. Kamu harus datang buat sidang. Aku akan nunggu. Bayinya belum mau keluar kok."
Zia berusaha tersenyum meyakinkanku.

"Aku nggak akan maafin diriku sendiri kalau kamu sampai batal sidang skripsi." tandasnya.

Aku menatapnya khawatir, lalu mengangguk. "Aku akan tetap sidang. Tapi aku nggak akan pulang sekarang."

"Ren.."

"Besok pagi-pagi aku pulang. Dan setelah sidang aku akan kemari." tegasku.

Zia tersenyum. "Makasih, Ren. Aku nggak tau apa jadinya hidupku kalau nggak ada kamu."

Aku sangat mencintaimu, Zia. Apapun pasti kulakukan untukmu, walau kau tak pernah tau isi hatiku.

>>

Aku bergegas ke rumah sakit seusai sidang skripsi. Sepanjang sidang aku tak bisa konsentrasi karena memikirkan Zia, namun aku tak ingin mengecewakannya, karena itu aku berusaha sebaik mungkin menjawab pertanyaan para dosen penguji.

"Suami Ibu Zivana?" tanya seorang perawat saat aku hendak ke ruangan tempat Zia dirawat.

"Iya, Sus. Istri saya kenapa, Sus?" tanyaku panik.

"Tenang, Pak. Ibu Zivana masih di ruang persalinan. Tadi Ibu Zivana meminta saya menyampaikan kalau Bapak sudah datang. Selamat, Pak.. putra Bapak dan ibunya alhamdulillah sehat."

Aku terperangah. Tak bisa kugambarkan senangnya perasaanku mendengar kalimat tadi.

"Anak saya laki-laki?"

Perawat itu mengangguk. "Nanti kalau istri Anda sudah dipindah ke ruang perawatan, Bapak bisa menemuinya."

Zia tersenyum menatapku yang tengah menghampirinya. Aku langsung menggenggam tangannya.

"Kamu udah lihat anakku, Ren?" tanyanya.

"Ya. Anak kita.. wajahnya mirip kamu, tapi ganteng." aku sengaja menyebut 'anak kita' karena dia telah kuanggap anakku sendiri.

Zia menitikkan air matanya.

"Terima kasih kamu mau menganggapnya anakmu juga, Ren."

Kuberanikan diri menghapus air mata di wajah Zia.

"Istriku yang cantik nggak boleh nangis, kan udah jadi mama sekarang."

Zia tertawa kecil mendengar kelakarku.

"Gimana sidang kamu, Ren?"

"Berkat doamu, aku lulus, Zia."

"Selamat ya, Ren."

Aku mengangguk. "Kamu mau kasih nama siapa jagoan kecil kita?"

Zia tersenyum. "Kamu aja, Ren."

Aku berpikir sejenak. "Rizki Ziadi Putra. Anugerah ini putra Zia dan Rendi." ucapku seakan ingin menegaskan kalau anak itu adalah buah cinta kami.

Zia tertawa kecil. "Kamu pintar, Ren."

"Sekarang kebahagiaan kita sudah lengkap." aku mempererat genggamanku di tangan Zia.

>>

CINTAKU UNTUKMU, ZIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang