Dan hal paling tak disangka adalah dia—kakak yang selalu dibangga-banggakan olehnya—mendorong mama. Aku tak tinggal diam. Segera kutarik badan kakak, tapi apa daya? Tubuh kakak yang gemuk dan gempal membuatku malah jatuh tersungkur. Dan, menghancurkan kue ultah cantik—hancur tak berbentuk.
Harus kuakui sekarang juga dihadapan kalian, bahwa aku benci dengan kakak satu-satunya yang kumiliki—yang sebenarnya tak pernah aku harapkan. Kakak adalah orang yang buat hidupku berantakan. Kakak yang buat hidupku tambah rumit. Dan kakak, yang buat aku dicap sebagai IDIOT.
***
Malam ini entah mengapa terasa dingin sekali. Aku sedang mengutak atik ponsel di ruang tamu—ditemani segelas teh hangat, serentak mempererat dekapan selimut. Untuk kali ini, kakak sedang jauh dariku. Ia sedang bermain monopoli dengan Mama di ruang keluarga.
Hingga, ketukan dan geseran pintu utama bergaya minimalis di ruang tamu sontak membuyarkan lamunanku. Siapa yang malam-malam dingin begini bertamu?
"Papa!" Pelukku terlonjak senang karena seseorang yang selalu aku tunggu untuk datang telah berada didalam dekapanku saat ini.
"Angel, kamu udah SMA masih aja manja ya!" Balas Papa. Demi apapun juga, aku kangen banget sama orangtuaku satu ini.
"Pa, titipan yang ku pesan kemarin mana?" Kedipku sambil duduk di samping Papa.
"Angel! Papanya kan baru pulang. Jangan langsung ditagih." Nasihat Mama, seraya membawakan tas kerja Papa berwarna hitam mengkilat.
"Nih, spesial untuk anak papa yang paling cantik!" Ujar Papa sambil memberikan topi merah, asli dari Belanda. Yang aku idam-idamkan dari jauh-jauh hari.
"Makasih, Pa!" Ucapku kegirangan seperti anak kecil yang dibelikan permen lolipop dan harum manis di pasar malam.
Papa hanya mengangguk sembari mengusap puncak kepalaku pelan. "Nah, karena besok hari libur. Gimana kalau kita sekeluarga jalan-jalan?" Ajaknya kemudian.
"Tuh kak, Jalan-jalan. Kakak mau kan?" Kata Mama sambil menjalankan pion dan mengatur uang hasil pembelian rumah di bank monopoli.
"Tapi dengan syarat, kali ini Angel gak boleh nakal sama kakaknya." Lanjut mama sambil menggigit biskuit coklat.
Aku menggeram kesal, sepertinya yang mengajak liburan adalah Papa. Mengapa jadi Mama mengatur semuanya? But overall, I don't care coz tomorrow we'll have a great holiday!
***
Suara teriakanku menggema di seantero tempat ketika memasuki Taman Hiburan cukup mewah dan lengkap di Jakarta, Dunia Fantasi, Ancol! Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku berkunjung ketempat ini.
Semua wahana kami naiki. Tanpa mau melewatkan, kita juga bermain permainan biasanya diadakan saat sircus—hadiah yang didapat cukup beragam, seperti boneka dan permainan anak-anak lainnya.
Kakak mendapat empat boneka karena menjatuhkan semua botol. Sedangkan aku, sama sekali tak bisa menjatuhkan. Baiknya, tumben sekali kakak tanpa pamrih memberi diriku dua boneka.
Setelah berkeliling cukup lama, mama dan papa memutuskan untuk membeli minuman. Sedangkan aku dan kakak duduk di bawah pohon rindang.
Kakak hanya sibuk memperhatikan bonekanya tanpa bosan. Seakan menunggu boneka itu untuk hidup dan dapat bermain dengannya. Mungkin dia pikir Boneka tersebut bisa berbicara seperti di film Ted.
Sementara aku malah asyik memperhatikan Roller Coaster yang melintas diatas kami. Tadi tidak sempat menaikinya karena kakak tidak berani. Tentu saja dengan sangat penasaran aku mau coba untuk naik sendiri.
"Kak, tunggu sini ya. Bentar aja. Aku cuma mau naik itu!" Pintaku sambil menunjuk wahana Roller Coaster yang membuat penumpangnya berteriak kencang.
Kakak hanya mengangguk-angguk sambil mengences di bonekanya, hal itu membuat ku bergidik. Jorok.
Yang aku tidak tahu, saat aku sedang menaiki Roller Coaster, salah satu teman Agnes datang menghampiri kakak dengan mengenakan kostum robot Power Rangers, yang memang jagoan favorit kakak. Si endut, begitu aku memanggilnya.
Merayu kakak dengan menggerak-gerakkan tangannya sembari mengisyaratkan supaya kakak mengikutinya. Jangan-jangan, si endut itu sengaja ingin mencelakai kakak. Tapi saat itu aku tak dapat menghentikan kegiatan licik yang mereka rencanakan, semua adalah kelengahanku.
Saat aku kembali ke tempat duduk, aku tak melihat kakak disitu, aku hanya melihat boneka yang diberikan kakak dan topi serta tas kosongku—karena ponsel ku kantungi.
Aku berteriak memanggil kakak, tapi yang dipanggil tak muncul. Aku frustasi, mama dan papa menghampiriku dan bertanya apa yang sedang terjadi. Aku hanya menjambak rambutku dan menangis jejeritan.
Mama langsung tanggap situasi tanpa banyak kata segera memarahiku. Tentu saja, aku kembali menjadi sasarannya. Tapi kali ini, aku rasa memang aku yang salah. Aku diminta menjagai kakak sebentar saja, tetapi aku sudah lalai. Bagaimana jika disuruh menjaga kakak sepanjang hari?
Papa segera melerai pertengkaran antara aku dan mama. Papa menghentikan dengan ucapan kecil dan ringan. Beliau memang selalu tahu cara menengahi perdebatan yang kerap terjadi antara aku dan Mama.
"Daripada bertengkar tidak ada hasilnya, lebih baik kita melapor kantor manajemen Ancol." Ucap Papa memberi solusi.
"Ma, dengerin aku. Kita ini di Dunia Fantasi. Dunia Fantasi itu untuk anak-anak yang memiliki pikiran normal! Yang bisa berpikir tentang kalau Dunia Fantasi itu nggak ada, khayalan! Tapi kakak, kakak be...da ma...!" Ujarku akhirnya tanpa ada yang ditutupi lagi. Sudah muak aku dibuat oleh segala hal berhubungan dengan kakak.
***
—ladymezzy.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Idiot Brother
Teen FictionIdiot. Bodoh. Tolol. - Mungkin bagi sebagian orang, menjadi diriku adalah sebuah bencana. Sebenarnya hal itu tidak sepenuhnya salah, karena memang benar. Siapa insan remaja di dunia yang mampu menerima kenyataan memiliki kakak laki-laki berkebutuhan...