Bab 4

8.2K 177 8
                                    

Plak!

Sebuah tamparan mendarat mulus di pipi kananku. Hingga membuat kepalaku tertoleh kekiri. Tamparan yang begitu keras, tetapi tidak terasa menyakitkan. Yang menyakitkan itu, entah mengapa terasa di hati.

Mengapa hal itu terlintas dibenakku? Tentu saja karena aku sangat merasa bahwa kakak itu makhluk paling istimewa. Kakak selalu dimanja dan diistimewakan oleh Mama dan terkadang Papa.

Ia merebut segalanya dariku! Kasih sayang keluarga, Teman-teman, dan kebahagiaan tersendiri. Seketika, aku bahagia jika kakak benar-benar menghilang. Mungkin kalian akan mengataiku bodoh karena harus iri dengan orang berkebutuhan khusus.

Tapi kalian juga harus merasakan ketika kalian masih seusia remaja dengan emosi yang meluap-meluap, itu semua tidaklah mudah. Aku akui, aku memang orang yang sedikit EGOIS!

Tapi, egois-an mana Tuhan apa aku? Tuhan telah memberikan karunia kepada Mama Papa yang seumur hidup nggak pernah aku harapin. Aku memang terlahir setelah kakak, lantas haruskah perhatian untukku juga setelah kakak?

Kakak harus utama? Kakak harus segalanya? Lantaran, Kakak adalah orang yang telah membuat Mama jatuh—dan cedera cukup parah di kepala karena di dorong olehnya. Tetap Kakak jadi prioritas utama mereka.

"Angel! Tutup mulut kamu! Durjana!" Bentak Mama kasar.

Aku terperangah mendengar ucapan Mama. Mama tega mengataiku dengan kata menyayat hati. Mama memberiku sebuah panggilan tiada tara, Durjana. Aku kembali menangis sambil membekap mulut ku sendiri. Aku mesuh-mesuh dan mengumpat di dalam dekapan ku. Sial kakak, pendusta!

Akhirnya, kami kembali ke mobil dan berniat untuk pulang karena hasil pencarian kakak selama seharian mendapat hasil nihil. Mama menangis memandangi jalananan Ancol dari jendela, dia masih mengharapkan Kakak melewati jalanan di depannya.

'Tak mungkin lah ma! Ilangnya aja di Dufan, anak berkebutuhan khusus seperti kakak paling nyasar dan hilangnya disitu saja. Tak akan jauh-jauh dari tempat terakhir kali dia berada." Pikirku jelalatan kemana-kemana. Pikiran dan otakku buyar dan melayang kesana kemari.

Sesampainya dirumah, aku segera berlari ke kamar ku dan menutup pintu dengan kasar. Aku terisak kembali di bawah bantal, mengingat tamparan yang cukup keras dari Mama. Hatiku sakit, perih rasanya—seperti terhujam oleh mata pisau tertajam yang pernah dibuat.

Tak hanya itu, rasanya juga seperti ditusuk-tusuk ribuan jarum yang melayang merobek bagian diriku. Tanpa sadar, Papa membuka pintu kamar ku perlahan, aku hanya melirik sekilas dari ujung ekor mataku.

"Angel, ini bukan salah kamu. Memang selalu ada cobaan berat yang Tuhan berikan untuk kita. Maaf, tadi Papa tak sempat menahan Mama agar tak menamparmu!" Ucap Papa sambil membelai rambutku. Omongan Palsu, pembual.

"Angel gak guna ya, Pa?" Tanya ku seraya menyembulkan kepala dari balik bantal, masih dengan wajah berurai air mata.

"Kata siapa?" Tanya Papa, kaget mendengar ucapan yang terlintas dari mulutku.

"Buktinya udah kongkrit Pa. Gak perlu kata dan omongan dari semua orang. Mama selalu merayakan ultah Kakak secara mewah dan besar-besaran. Tak tanggung-tanggung setiap pagi kakak di siapin bajunya, di siapin pelajaran. Kakak, diperlakukan istimewa!" Ceritaku mengeluarkan semua uneg-uneg yang tersimpan dalam hati selama ini.

"Sayang, kamu harusnya ngerti. Kakak sama kamu, beda!" Ucap Papa terbata. Hah? Papa mampu bilang Kakak berbeda. Aku tak tahu mengapa secarik kata itu membuat perasaan lega.

"Terus, kalau Kakak berbeda. Kasih Sayang yang diterima Angel juga harus beda?" Elakku sambil mendelikkan mata.

"Nggak, sayang." Itu saja yang diucapkan Papa. Papa kehabisan kata ya? Kentara sekali kalau beliau memang kehabisan kata.

"Sudah, Pa. Angel ngantuk, mau tidur. Good Day, Pa!" Ucapku seraya merebahkan diri ke kasur dan memeluk guling lalu segera saja kedua mataku terpejam rapat.

***

Lelah, capai, dan pusing. Sudah tiga hari aku mencari Kakak kesana kemari, tak kunjung ketemu. Aku sudah mencari diseluruh kawasan Ancol mulai dari pintu masuk hingga sepanjang jalur pantai. Tak ada tanda-tanda Kakak disitu. Tapi Mama tetap memaksa kami untuk mencari kakak di kawasan luar ancol.

"Kakak belum makan, Pa. Kakak juga belum minum obat. Nanti kalau dia kumat dan kambuh, semua barang di rusak Pa. Kita minta izin ke Pihak Ancol untuk masuk ke Dufan lagi yuk Pa." Pinta Mama dengan mata sembab.

"Kita udah bolak-balik masuk ancol 6× Ma! Kasian Angel capai, dia tidak perlu dilibatin ke pencarian ini lagi Ma!" Elak Papa.

"Tapi dia yang salah! Seharusnya, dia cari sendiri!" Omel Mama dengan emosi mulai meledak.

"Ma, cukup. Baiklah, kita kembali ke Ancol, dan sedari kemarin kita belum sempat masuk kedalam wahana 'Rumah Kaca' atau 'House of Terror'." Ujar Papa.

"Semoga, kakak disitu. Biar mama tak memarahiku lagi." Harapku sungguh-sungguh. Lelah sudah mengharapkan bahwa kakak hadir kembali dalam kehidupanku.

Setelah itu, dengan perasaan sangat berantakan. Aku harus mengikuti apapun perintah mama, I thought you won now. Akhirnya, kami kembali masuk ke dufan untuk ke sekian kalinya. God, help me only for this time please, find my idiot brother.

Ahirnya kakak ditemukan di dalam House Glass dengan keadaan pingsan. Aku sangat bersyukur saat itu, tapi ada yang mengganjal di relung hati. Mengapa senang? Harusnya aku mengeluh karena harus bertemu dengan kakak sialanku itu setiap harinya.

***

Bagian mana paling buat kalian sedih?

—ladymezzy.

My Idiot BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang