Bab 5

9.4K 211 29
                                    

Hari berlalu, tepat seminggu aku kembali masuk sekolah setelah tragedi yang membuat kepalaku nyaris hampir pecah. Kakak sudah kembali ke rumah, aku pun kembali menjalani hari-hari membosankan seperti biasanya.

Pagi diawali dengan ketukan pintu kakak mengantar susu vanilla kesukaanku, juga sarapan bersama kakak dan Mama di ruang makan, kalau kali ini kalian bertanya kemana Papa, beliau sudah bertugas di daerah luar pulau kembali untuk sekitar tiga bulan.

Aku mencoba bersikap baik selama seminggu itu, mengingat agar mama dan aku tidak berselisih lagi kedepannya.

"Angel, jangan lupa ya bekalnya dimakan!" Pesan mama usai aku menutup pintu mobil dengan cukup kasar.

"Iya ma!" Balasku sembari tersenyum manis dan melenggang meninggalkan parkiran.

Kuletakkan tas unguku keatas kursi kelas seraya menghembuskan nafas kasar, sementara Agnes berjalan menghampiriku bersikap sok bossy.

"Hey idiot! Denger-denger kakak lo ilang ya di Dufan? Duh kasian banget deh." Ujarnya sembari memainkan kuku, dan mengibaskan rambut indahnya.

Aku terdiam dan pura-pura sibuk menulis di bagian belakang buku, hingga akhirnya Aji datang ke kelasku dan memberi undangan kepada Agnes, apalagi yang harus terjadi dalam hari ini?

"Nih buat kamu, Nes!" Tukas Aji seraya memberikan selembar kertas berbentuk seperti undangan ulang tahun, sweet seventeen, ala anak SMA.

"Makasih Ajiku tersayang. By the way, si idiot ini nggak di undang kan ke pesta ulang tahun kamu yang ketujuh belas?" Jawab Agnes seraya menatapku sinis.

"Lho? Emangnya kenapa? Semua orang di sekolah ini aku undang, lagipula pestaku terbuka tak menyortir kalangan yang harus datang. Ini baru mau aku kasih!" Elak Aji seraya menyerahkan kartu undangannya kepadaku yang terpaku.

Agnes menatap tajam kearah Aji seakan-akan berkata 'lo-serius-Ji?' Setelah itu dia pergi dan tubuhnya hilang sempurna dari balik pintu, aku mulai mengadahkan kepala sambil menatap iris mata Aji, lelaki itu tersenyum dan menatap wajahku intens.

"Datang ya, Malaikatku!" Ujarnya seraya mencolek pipiku kemudian pergi beranjak dari kelas dan menghilang dibalik lorong.

Saat itu perasaan hatiku bagaikan terbang ke langit tujuh, terkesan berlebihan memang. Tapi untuk kisah cinta jaman remaja, adalah hal yang terasa sangat normal bukan?

***

"Kak, bentar lagi kan Angel ulang tahun, gimana kalau duit yang kakak tabung buat beli kado Angel, biar minta mentahnya aja?" Aku menjalankan pion monopoli sembari merayu kakak dengan wajah sok manis yang terlihat sangat dibuat-buat.

Kakak menunjuk-nunjuk celengan ayam berisi uang yang ia tabung untuk membeli hadiah ulang tahunku. Aku mengangguk membenarkan. Aku pikir, lebih baik uang itu aku gunakan untuk membeli hadiah ultah Aji, lagipula aku sedang tidak ada keinginan untuk membeli barang.

Kakak menyerahkan celengan itu, lekas kembali memainkan monopoli tanpa rasa bimbang sedikitpun. Semoga, kakak tidak bilang-bilang ke mama. Namun seharusnya aku tak pernah mampu percaya kepada seorang idiot sepertinya.

Tanpa terasa, pekan hari ulang tahun Aji tiba, aku telah siap dengan gaun hitam dan sepatu high heels. Aku buru-buru sehingga tidak memperhatikan kado untuk Aji tertinggal diatas sofa ruang tamu.

Sampai akhirnya, aku telah berada di pesta ultah Aji, dan Agnes menyapaku dengan ketus tanpa ada kesan ramah sedikitpun tergambar dalam wajahnya.

"Wah, ternyata si gembel ini datang juga, mana tidak bawa kado?" Decaknya dengan niat merendah.

Kado? Tunggu, apa yang ia katakan tadi, kadonya. Aku mengingat-ingat sebentar, ah bodoh sekali kutinggalkan tadi, kenapa aku sangat lalai sekali. Padahal acara ini adalah moment pas untukku menyatakan perasaan kepada Aji. Aku hanya terdiam dan bingung tanpa tahu apa yang harus dilakukan.

Aji datang, dia mengajakku untuk ke acara selanjutnya, yaitu potong kue. Aku sangat gelisah di acara itu, aku khawatir akan mengecewakan Aji karena datang tak membawa kado.

Satu hal yang harus kalian tahu adalah, saat penyerahan first cake Aji memberikan kue kepadaku. Aku tak menyangka semua ini akan terjadi dan menerimanya dengan tangan gemetar.

Tiba-tiba, kakak datang membawa kado ditangannya, lekas meneriakkan namaku dari ujung tangga tanpa ada perasaan malu atau risih sedikitpun.

"Angel! Kado ini buat Angel teman kan?" Serunya sambil memakan coklat yang meleleh ditangannya. Aku menganga tak percaya, bagaimana bisa kakak tahu tempat ultah Aji, padahal undangan ulang tahun lelaki itu aku simpan rapat-rapat di bawah bantal tempat tidur.

Aku membawa Kakak menjauh dari keramaian membicarakanku dengan bisik-bisik dan tatapan menghina dan merendah.

"KAKAK KENAPA KESINI SIH? KAKAK MENGHANCURKAN MOMENTKU!" Teriakku sembari menangis keras. Tentu saja, moment ini adalah hal yang paling ditunggu remaja, dan kakak idiotku harus menghancurkan semuanya.

Kakak hanya terdiam merasa bersalah, dan sebuah mobil melaju kencang, sampai akhirnya, Bruk!

Gelap.

Tapi saat itu aku masih sadar, saat tiba-tiba satu mobil ikut menghantam kearahku, dan kakak, menjadi perisai terakhirku. Aku pingsan, entah apa yang terjadi disaat akhir, aku hanya menyadari bahwa pelipisku meneteskan darah segar.

***

Aku mengerjapkan mata dan melirik ke kanan dan kiriku, kesemua sudut ruangan berbentuk persegi. Sebuah tempat asing bercat putih dan tercium bau obat-obatan sangat menyengat. Aku melihat sosok kedua orangtuaku disana walau terlihat sedikit kabur, pandanganku masih belum jelas.

"Ma, pa, Angel dimana?" Tanyaku parau, tak tahu apa yang terjadi belakangan ini.

"Kamu dirumah sakit sayang, 3 hari yang lalu kamu kecelakaan dan koma." Jawab mama sembari membantuku duduk.

Aku tak dapat mengingat semuanya, pikiranku kosong.

"Kalau kakak dimana ma? Angel pengen jenguk kakak." Kataku, satu-satunya memory yang masih teringat adalah kakak ada bersamaku hingga saat terakhir.

"Sayang, kita keluar yuk." Papa mendudukanku keatas kursi roda.

Aku didorong menuju lorong rumah sakit yang lengang tanpa ada satupun orang melintas di koridor.

"Kakak dimana pa?" Tanyaku berulang kali, dan disambut dengan keduanya yang hanya terdiam menatapku dalam.

Papa terdiam.

"Pa, kakak dimana!?" Ulangku dengan nada meninggi, kesabaranku mulai habis karena Mama dan Papa tak kunjung menjawab.

Papa menghembuskan nafas dan mulai bercerita kejadian sebenarnya, sedangkan Mama mulai menangis sesenggukan.

"Saat kecelakaan pertama, kamu tertabrak, sehingga kamu memiliki kerusakan di ginjal. Dan saat tabrakan yang kedua, kakak berusaha sekuat tenaga untuk melindungi kamu, sehingga dia kehilangan nyawanya, dan tanpa pamrih mendonorkan ginjalnya." Jawab Papa dengan air mata tertahan di kelopak matanya.

Aku terdiam, dan air mata perlahan mengalir dari pelupuk mataku. Memory-memory bersama kakak terus terngiang dan terputar bagaikan video. Sekarang, dia hanya tinggal kenangan. Aku yang selama ini selalu menjahatinya, tak mampu membuatnya berlaku kasar kepadaku.

Selamat Jalan Kakak!
Tunggu aku di Surga.

End.
                                ***

Terakhir, bagian mana yang paling sedih?

—ladymezzy.
I'm sorry if these story was awkward and piece of junk coz made when I'm still kids and only wrote while during fasting month.

Honestly, I wanna delete this absurd story since two years ago, but I can't let my childhood go away without prove. So, hope you guys enjoy!

My Idiot BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang