Remuk. Kurasa kata itulah yang pantas untuk melukiskan keadaanku saat ini. Hanya rasa nyeri yang menambatkan diri di seluruh tubuhku. Tulangku bagai dihunjam ribuan jarum, persendianku bagai kehilangan fungsinya sebagai penyambung tulang-belulangku. Yang bisa kulakukan sekarang hanya berbaring di atas kasur, berharap benda tipis habitat kepinding ini sanggup menyerap seluruh rasa sakitku.
Hanya bisa aku merutuk, betapa sialnya aku hari ini. Hanya karena aku membungkuk kurang sempurna saat apel, aku dihadiahi sebuah tamparan hebat dari kampetai(1). Usai puas mempermalukanku, mereka menjatuhiku hukuman memangkas rumput liar di seluruh kamp, yang berimbas pada remuknya tubuhku kini.
Persetan dengan apel! Jikalau kau ingin tahu, kegiatan rutin tiap pagi itu hanyalah ajang bagi Nippon untuk mempertontonkan taring kekuasaan mereka. Juga, kegiatan apel itulah wahana bagi mereka untuk membuka mata kami, orang-orang Belanda, dan membuat kami menyadari betapa rendahnya kami di mata orang-orang sipit berhati batu itu.
"Tampaknya kau lelah sekali, Hertha," Nina berujar sambil mendudukkan diri di ujung kasur. Dibukanya ikat rambutnya hingga rambut keemasannya bebas bernapas.
"Tentu saja. Benar-benar tidak beruntung aku hari ini hingga kampetai itu menangkap kesalahan sedikit saja dalam seikerei(2)-ku." Pandanganku yang dipenuhi kunang-kunang menerawang menembus langit-langit. "Bagaimana pekerjaanmu di dapur umum? Apakah para penghuni kamp menyukai masakanmu?" Ketika mengucapkan patah-patah kata itu, kelopak mataku yang berat sudah separuh menutup.
"Tentu saja, mereka menyukainya! Menu hari ini adalah sup tulang ayam!" Nina menyengir. "Tahukah kau? Kami menemukan cukup banyak tulang ayam di tempat sampah pos jaga kamp. Beruntung para kampetai itu tidak memberikan tulang-tulang itu pada kucingnya."
"Oh. Tampaknya lezat sekali menu kali ini..." aku tersenyum tipis, "tetapi perutku sedang tak berkenan diisi barang sedikit, Nina..." Belum sempat Nina merespon perkataanku, kegelapan telah sepenuhnya merengkuhku. Aku mulai meniti jembatan menuju ruang hampa ketidaksadaran.
__________________________
(1) kampetai = polisi militer Jepang
(2) Seikerei = penghormatan kepada Dewa Matahari dengan cara membungkuk ke arah matahari terbit
KAMU SEDANG MEMBACA
Dedaunan yang Gugur [END]
Historical FictionAmbarawa, 1943 Sastro, Andai kau tahu, betapa besar rasa bersalah mengiris-iris hatiku, membuatku menangis darah setiap kali berusaha menggenggam bayangmu. Meski kaubilang, cinta yang sejati bukanlah cinta yang harus memiliki, melainkan cinta yang a...