Sungguh benar dugaanku tentang berakhirnya perjumpaanku dengan Sastro. Seminggu berlalu sejak kata-kataku yang bagaikan ribuan tombak menghunjam dada Sastro, tak pernah lagi dirinya mengunjungi kamp. Memang, patutlah ia marah dan kecewa akibat jawabanku tatkala itu. Wajarlah amarah membakar seluruh jiwanya tanpa ampun, ketika gadis yang setiap hari ditolongnya mengecewakannya mentah-mentah.
Buku sketsa pemberiannya masih kusimpan di bawah bantalku, untuk menemaniku ketika terjaga di tengah malam akibat pecahnya tangisan bayi di ruang tidur sesak berisi puluhan orang ini.
Tak bisalah kuberkelit, bahwa aku merindukan Sastro. Berkali-kali aku terbangun di tengah malam karena wajah rupawan nan manis itu melintas dalam mimpiku. Tak pernah terbersit keinginan untuk menenggelamkan bayang-bayang wajahnya di kepalaku, karena aku begitu ingin merengkuh bayangnya. Tapi, perlulah kauketahui, bahwa aku merindukannya sebagai sahabatku, pahlawanku, bukan lelakiku.
Hari ini pun berjalan seperti biasanya, kembali bergulir seperti seharusnya, sebelum Sastro menempati kursi khusus dalam hidupku. Menu hari ini, makan pagi: bubur encer, makan siang merangkap malam: sup tulang ayam. Sungguh normal.
"Hertha! Ada yang mencarimu! Seorang inlander!" kudengar Nina berseru. Segera seruan itu membangunkanku dari tempat tidur. Tanpa buang waktu, aku segera melesat keluar.
Begitu cepat kakiku berayun. Rasanya seperti terbang. Kerinduan yang membuncah dalam dadakulah yang telah merangkai helai-helai sayap yang mengangkatku terbang menuju pagar kawat.
Tetapi, betapa kekecewaan meledak dalam dadaku ketika yang memanggil namaku dari luar pagar bukanlah Sastro. Bukan dia, melainkan seorang pemuda Djawa berambut pendek, berbalut pakaian lusuh mengapit sebuah papan di antara lengannya.
"Sastro ingin Noni menyimpan ini." Diserahkannya padaku papan berukuran setengah halaman kertas koran yang ternyata adalah sebuah pigura. "Maafkan aku, Noni, karena baru sekarang aku sempat menyerahkan ini pada Noni."
Pigura itu, membingkai sebuah lukisan monokrom sepasang angsa yang tengah beradu kepala. Warna yang mendominasi lukisan itu ialah kuning, kuning kecokelatan, dan cokelat. Kuteliti dengan seksama lukisan itu, dan barulah aku menyadari bahwa dibalik kaca pigura itu, melekat dedaunan kering yang dipotong kecil-kecil seukuran kerikil, disusun rapi membentuk lukisan indah dengan detail gambar indah, perpaduan warna dan gradasi warna yang sempurna. Lagi-lagi, bagiku yang miskin pengetahuan tentang seni, lukisan itu seolah terlahir secara magis.
"Di mana Sastro?" tanyaku, setengah mendesak.
"Sastro sudah tiada, Noni," sahut pemuda itu lirih. "Sudah sejak seminggu yang lalu. Kepalanya tertembus timah panas kampetai ketika tertangkap basah mencuri ayam di rumah komandan Jepang."
Tak tanggung-tanggung, perkataan itu segera membuat jantungku meloncat. "Seminggu... yang lalu?" tanyaku dengan bibir bergetar, disambut oleh anggukan pemuda itu.
"Terakhir ia pamit padaku, hendak mencarikan seekor ayam untuk Noni." Pemuda itu tertunduk. "Sebagai sahabatnya, tahulah diriku bahwa Sastro begitu ingin membahagiakan Noni. Ia begitu mencintai Noni dengan segenap jiwanya. Tak peduli bahwa Noni tidak mencintainya, tak peduli bahwa Noni sudah jadi milik orang lain, ia tak pernah berhenti mencintai Noni, dan melakukan apa yang layaknya dilakukan seseorang untuk orang yang dicintainya. Sampai akhir hembusan nafasnya, nama Noni masih mengalun dalam detak jantungnya. Sebab baginya, cinta yang sejati bukanlah cinta yang harus memiliki, melainkan cinta yang abadi sampai akhir hayat."
Oleh setiap patah katanya yang mengguratkan berjuta rasa bersalah di hatiku, terenggutlah separuh jiwaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dedaunan yang Gugur [END]
Historical FictionAmbarawa, 1943 Sastro, Andai kau tahu, betapa besar rasa bersalah mengiris-iris hatiku, membuatku menangis darah setiap kali berusaha menggenggam bayangmu. Meski kaubilang, cinta yang sejati bukanlah cinta yang harus memiliki, melainkan cinta yang a...